Jumat, 27 Januari 2012

Syaiful Mujani: Takut Ahmadiyah, Takut Kepada Siapa?

JAKARTA - Anggota jemaah Ahmadiyah diburu, dikepung ruang geraknya, seperti binatang. Bukan hanya oleh orang-orang di lapisan bawah, tapi juga oleh elite negara dan ulama. Wujudnya adalah kebijakan jahat yang dibuat elite tersebut dalam bentuk surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, dan dikaitkan dengan undang-undang penistaan agama. Dalam SKB itu, Ahmadiyah jelas kehilangan hak-hak asasinya yang paling fundamental sebagai warga negara, yakni kebebasan berkeyakinan dan menjalankannya.


Sejumlah aktivis mengajukan review kebijakan dan undang-undang yang digunakan untuk mendiskriminasi dan membantai warga Ahmadiyah itu. Dasar pengajuan review tersebut adalah kebijakan yang diskriminatif itu dinilai bertentangan dengan konstitusi, yang menjamin kebebasan berkeyakinan serta beragama dan, karena itu, wajib hukumnya dibatalkan. Kita tahu semua, Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan tersebut.

Kalau bicara secara pribadi dengan para pejabat negara tersebut, mereka mengakui bahwa kebijakan negara itu diskriminatif dan melanggar konstitusi. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan bicara secara jernih pun bahwa setiap warga, apa pun keyakinannya, dijamin di negeri hukum ini mereka tidak berani. Saya melihat mereka takut. Takut terhadap siapa? Saya tidak tahu, tapi kesan saya, mereka takut terhadap "umat Islam".

Umat Islam adalah kolektivitas yang dibayangkan hidup, punya logika, dan punya jalan pikiran sendiri. Ia punya sikap tentang apa itu Islam dan apa itu bukan Islam. Barang siapa yang memahami Islam di luar pemahamannya dianggap mengancam Islam dan umat Islam dan, karena itu, harus dikeluarkan. Bila tidak mau keluar, tetap bernaung dalam nama Islam, ia dinilai pantas dimusnahkan.

Sikap umat seperti ini sebenarnya diciptakan dalam sejarah oleh sebuah otoritas agama atau ulama dan negara atas dasar penafsiran yang dinilai berlaku umum dalam tradisi otoritas tersebut. Peran ulama adalah membentuk paham-paham Islam mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Sampai di situ tidak apa-apa. Tapi, ketika otoritas agama ini punya kekuasaan atau bisa menggunakan kekuasaan negara, paham tersebut bisa punya daya paksa dan bahkan daya musnah seperti yang kita saksikan di Pandeglang itu.

Negara bisa dipaksa atau mungkin dipersuasi oleh ulama, terutama Majelis Ulama dan para ulama di Kementerian Agama karena petinggi negara terkait takut dinilai membela hak-hak beragama jemaah Ahmadiyah. Mereka takut dinilai memusuhi umat Islam kalau menolak permintaan para ulama untuk mengkerangkeng jemaah Ahmadiyah.

Saya tahu para ulama itu sungguh-sungguh melihat Ahmadiyah sebagai ancaman terhadap umat Islam. Tapi para pejabat negara terkait sebenarnya tidak merasa seperti itu. Sebenarnya banyak di antara mereka yang memandang bahwa paham seperti yang dipegang oleh Ahmadiyah merupakan hak jemaah Ahmadiyah sendiri dan negara tidak boleh memaksa mereka berislam selain cara mereka sendiri. Mereka juga percaya bahwa negara wajib melindungi setiap keyakinan apa pun, termasuk keyakinan yang dikaitkan dengan Islam, seperti Ahmadiyah. Tapi elite negara itu takut terhadap umat kalau harus mengatakan demikian secara terbuka kepada publik. Mereka takut dinilai merusak Islam, dan takut dimusuhi umat Islam.

Ketakutan elite negara, yang umumnya awam dengan tafsir Islam, itu semakin menjadi-jadi karena hampir tidak ada ulama tandingan dari umat Islam yang berpengaruh untuk menyampaikan paham alternatif terhadap pandangan tentang Islam yang dinilai umum tersebut. Kita tahu ada sejumlah ulama atau intelektual yang menoleransi adanya perbedaan paham dalam Islam, termasuk yang berkaitan dengan akidah, karena mereka tahu bahwa perbedaan semacam itu punya sejarah yang panjang dalam tradisi Islam. Dan sah adanya.

Kita ingat bagaimana para pendukung Sayidina Ali dan para pendukung Sayidina Usman saling mengkafirkan, saling mengeluarkan mereka dari Islam. Padahal mereka semua para pengikut setia Nabi. Mereka berebut pengaruh. Bukan soal paham agama betul.

Kita tahu banyak ulama besar pada masa keemasan Islam yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu, yang menganggap akal lebih penting daripada wahyu. Juga kita ingat perdebatan besar para ulama Asyariah dan Mu'tazilah tentang hakikat wahyu atau Al-Quran, apakah ia kekal (qadim) atau baru (hadis). Kita juga tahu ada ulama besar tasawuf, seperti Yazid Albustami atau Al-Hallaj, yang punya ungkapan ganjil bagi awam umat Islam ketika mengatakan, misalnya, "tidak ada Tuhan selain Aku"; "Aku adalah Tuhan", dan seterusnya.

Itu semua wilayah akidah dan, karena itu, beda paham dalam soal akidah juga biasa saja. Kalau Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya seorang nabi, ya, tidak ada apa-apanya kalau kita melihat perbedaan paham para ulama pada zaman keemasan Islam tersebut. Jangankan yang mengaku sebagai nabi, yang mengaku dirinya sebagai Allah saja ada. Jangankan perbedaan paham dalam menafsirkan sumber doktrin Islam, yakni Al-Quran, yang menganggap Al-Quran kurang penting pun ada. Dan semuanya berdasarkan atas otoritas keulaman mereka.

Celakanya, para ulama yang berdiri di belakang SKB itu cukup tahu sejarah Islam, tapi mereka memilih secara selektif. Seleksi itu bukan karena mereka sudah bertemu dengan Allah dan mengatakan bahwa Allah membenarkan substansi SKB itu, tapi lebih karena perasaan dan sejarah sosial mereka sendiri dalam lingkungan ulama Indonesia yang jumud, yang mata hatinya tertutup terhadap kenyataan bahwa ini adalah Indonesia, negara Pancasila, bukan negara Islam.

Sejauh ini para ulama yang bernafsu mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam cukup berhasil memonopoli arti dan makna Islam itu, sehingga paham yang lain harus dimusnahkan. Lebih dari itu, mereka kemudian berhasil juga menciptakan ketakutan di seantero negeri, termasuk kepada para jenderal yang paham keislamannya dari tradisi abangan itu.

Para elite negara begitu takut kepada umat Islam yang maknanya ciptaan para ulama itu. Mereka begitu percaya, kalau melawan paham ulama itu, mereka akan ditinggalkan umat Islam, yang membentuk hampir seluruh penduduk negeri ini. Kalau ditinggalkan, apalagi dimusuhi umat yang buatan ulama itu, habislah riwayat petinggi negara yang nasibnya bergantung pada pilihan umat itu, apakah itu presiden, anggota DPR, gubernur, maupun bupati. Pejabat-pejabat negara lainnya yang tak dipilih umat, seperti yang duduk di Mahkamah Konstitusi, kejaksaan, kepolisian, dan kementerian, juga takut karena bergantung pada para pejabat yang dipilih umat tersebut. Umat berkuasa, dan membuat takut seantero negeri.

Sumber: Koran Tempo l Penulis: Syaiful Mujani.DOSEN FISIP UIN JAKARTA

Nur Hidayah Nasehat Mulia Menuju Jalan Taqwa

Ikhtisar Khutbah Jumah Hadhrat Khalifatul Masih V Atba
20 January 2012 di Masjid Agung Baitul.Futuh, London UK
[Setelah mengucapkan tasyahud, taawudz, bismillah dan tilawat Surah Al Fatihah], Hudhur (Atba) menilawatkan ayat-ayat Al Quran ini:


‘Mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan mereka menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan, dan mereka berlomba-lomba dalam pelbagai kebaikan. Dan mereka termasuk orang-orang yang saleh. Dan kebaikan apapun yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi untuk menerima ganjarannya. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertaqwa.’ (Q.S. Surah Ali Imran : 115 & 116).
Beberapa hikmah perintah menyuruh orang agar berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan yang sama ini diulangi lagi pada beberapa ayat lainnya di dalam Surah Al Imran yang sama, dengan penegasan ‘wallaahu alimul ghaib wa syahadah_
Adalah atas ridha Allah Swt semata yang telah mengutus Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) - di saat yang penuh kesulitan - sebagai Imamuz Zaman, dan betapa beruntungnya kita yang telah mendapat taufiq untuk menerima kebenaran pendakwaan beliau, dengan cara ber-Baiat; lalu berusaha memperbaiki keimanan kita agar sesuai dengan kiat [tarbiyat] yang telah diberikan oleh Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau), berdasarkan Al Quran Karim dan Sunnah Rasulullah Saw.
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) bersabda: ‘Sebagaimana pentingnya untuk mengontrol lidah agar jangan sampai berucap hal-hal yang bertentangan dengan keridhaan Ilahi, maka penting pula memfaedahkannya untuk menyampaikan kebenaran, yakni, ‘..ya’muruuna bil ma’ruufi, wa yanha’una anil munkar…, atau ‘….menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan..…’, yang merupakan suatu kemuliaan bagi kaum Mukminin. Namun, sebelum menyuruh orang agar berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan tersebut, patutlah bagi insan tersebut untuk menunjukkan terlebih dahulu praktek kehidupannya sehari-hari, bahwa dirinya pun sungguh-sungguh telah memiliki daya kekuatan tersebut. Ringkasnya, adalah sangat penting, sebelum mempengaruhi orang, kondisi dirinya sendiri telah mampu untuk memikat orang lain [ke ‘arah yang ma’ruf itu].
Tetapi, janganlah pernah berhenti untuk ber-ya’muruuna bil ma’ruufi, wa yanha’una anil munkar. Penting pula untuk mengenali saat dan tempat yang tepat untuk melakukannya, serta cara menyampaikannya dengan lemah lembut tetapi jelas..Di lain pihak, adalah dosa besar mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Taqwaan.’ (Malfuzat, Vol. I, hlm 424).
Hudhur menjelaskan, ‘Jadi, sekali kita menerima kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau), maka meningkat pula tanggung jawab kita untuk meningkatkan standar setiap ucapan dan perbuatan kita dalam rangka ber-ya’muruuna bil ma’ruufi, wa yanha’una anil munkar itu. Jika tidak, apa pula nilai Bai’at kita ? Faktanya, justru akan mengundang murka Ilahi.
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) bersabda: ‘Aku telah berulangkali mengingatkan, bahwa semakin besar seseorang memperoleh qurb Ilahi, maka semakin besar pula hisabnya.’ (Malfuzat, Vol.I, hlm.44). Hudhur atba menjelaskan, ‘Jadi, jangan senang dulu bahwa kita telah menerima kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau). Melainkan, amatilah dengan seksama sejauh mana inqillabi haqiqi yang terjadi pada diri sendiri. Memperoleh ilmu agama tidak berarti membebaskan seseorang dari hisabnya. Mendapat amanat kepengurusan [di dalam Jama’at] tidak berarti membebaskan insan tersebut dari hisabnya bila ia tidak memenuhi pelaksanaan yang dipersyaratkan. Berasal dari keturunan yang dulunya banyak melakukan pengorbanan [kepada Jamaat] tidak membebaskan insan tersebut dari hisabnya apabila perbuatannya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang haqiqi.’
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) bersabda: ‘Juga, belum tentu dekat dalam pandangan Ilahi, mereka yang berbusana terbaik dan berharta. Sebaliknya, mereka yang dekat dalam pandangan ilahi adalah mereka yang mendahulukan kepentingan agama di atas segala kenetingan lainnya, dan ikhlas di dalamnya. Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) pun bersabda: Di antara berbagai janji Ilahi, salah satunya adalah: fauqalladziina kafaruu ilaa yaumil qiyaamah, yakni, Dia akan mengunggulkan kaum pengikut kebenaran di atas mereka yang meng-ingkarinya.Namun, sangat perlu direnungkan, bahwa orang yang sudah Bai’at kepadaku tidak otomatis menjadi pengikut yang sejati. Yakni, sebelum orang itu menjalankan sepenuhnya syarat baiat kepadaku tersebut, ia tidak dapat digolongkan kepada pengikut yang mukhlisin.’ Maka kita perlu merenungkan hal ini dengan serius.
Hudhur atba menekankan, ‘Kita baru dapat melaksanakan perintah untuk ber-ya’muruuna bil ma’ruufi, wa yanha’una anil munkar, hanya apabila kita’ telah lekat dengan berbagai perintah Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) yang adalah pecinta dan hamba sejati Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw. Berbagai perintah beliau ‘alaihissalam (salam untuk beliau) tersebut adalah sangat penting untuk menjaga keimanan dan kesejahteraan rohani, sekaligus juga untuk kemajuan duniawi kita. Maka apabila kita tidak berusaha untuk sungguh-sungguh mentaati berbagai sabda beliau ‘alaihissalam (salam untuk beliau) tentulah kita pun tidak dapat disebut sebagai pengikut yang sejati. Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) telah diamanatkan suatu tugas besar untuk menyampaikan syiar Islam ke seluruh dunia di akhir zaman ini, yang adalah juga merupakan tugas mereka yang beriman kepada beliau. Maka untuk itulah kita pun perlu menjadi contoh teladan, dan adanya persesuaian antara ucapan dengan perbuatan. Ada yang bertanya: ‘Jika dilarang untuk berbual-bual dan berpura-pura, maka apa perbedaan yang menonjol antara kita dengan yang lain ? Beliau menjawab: Berfokuslah untuk mampu menjadi contoh teladan yang cemerlang, sehingga membuat orang lain terpikat untuk menerimanya. Yakni, jika tidak ber-nur cahaya, tentulah tak’ ada orang yang mau percaya.’ Maksudnya, [nur cahaya] kecemerlangan yang dirujuk di sini adalah kesucian yang perlu kita tanamkan berkat melaksanakan maksud hakiki Bai’at kita.
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) bersabda: ‘Allah Ta’ala sangat mengasihi orang yang muttaqi. Ingatlah senantiasa akan keagungan Allah. Bertawadu-lah, dan ingatlah selalu, bahwa tiap diri manusia adalah sesama’ makhluk ciptaan Allah juga. Maka janganlah bersikap kasar maupun aniaya terhadap mereka. Jangan memandang hina orang lain. Jika ada seorang anggota Jamaat yang melakukan perbuatan cemar, berarti ia pun mencemari saudaranya yang lain. Jika engkau cenderung menjadi pemarah, telitilah qalbu, dari manakah asal muasalnya. Karena tahapan tersebut sangat membahayakan keadaan dirimu.’ (Malfuzat, Vol.I, hlm.9).