Rabu, 12 Agustus 2009

REVOLUSI KEAGAMAAN

Oleh : Abu Taheera

Revolusi merupakan lawan kata dari Evolusi, yang berarti perobahan secara cepat dan menyeluruh. Bila makna itu yang kita ambil, maka dengan sendirinya revolusi menghendaki suatu perombakan-perombakan baru yang benar-benar berbeda, sehingga bisa saja menghancurkan tatanan lama yang telah ada sebelumnya.
Dalam tataran yang sederhana revolusi bisa di ibaratkan dengan rencana membangun suatu gedung baru di atas lahan gedung yang lama, maka secara otomatis gedung yang lama harus dihancurkan, sebab gedung yang baru konsep arsitekturnya sama sekali berbeda dengan gedung yang lama, sangat tidak mungkin bila bangunan yang baru ingin di buat dengan tetap mempertahankan bangunan lama secara utuh. Kemudian bila gedung yang baru terbangun keindahan arsitekturnya melebihi gedung yang lama, maka barulah revolusi itu dikatakan berhasil, dan saya yakin pemilik gedung yang lama pun tidak akan menyesal – bahkan merasa senang dan bangga bahwa kini gedung yang ia miliki sudah sesuai dengan tuntutan keadaan tidak lagi ketinggalan zaman. Namun sebaliknya bila gedung yang baru memiliki kualitas yang lebih buruk dari gedung yang lama, maka tidak bisa dikatakan itu sebuah revolusi tetapi degradasi, dan sudah bisa dipastikan kemarahan akan timbul dari pemilik gedung yang lama.
Seperti itulah kiranya revolusi dalam dunia keagamaan, Agama-agama samawi yang turun secara berurutan ke dunia ini satu sama lain saling merevolusi dengan cermat seiring dengan kemajuan pemikiran manusia dimana seorang nabi tertentu diutus. Yang pada akhirnya akan membawa setiap penganutnya kepada pemahaman yang lebih tinggi dan moderat dari keadaan sebelumnya.
Namun Kalau kita perhatikan lebih cermat lagi ada keunikan tersendiri dalam revolusi dunia keagamaan, keunikan itu adalah “ Kebenaran yang bersifat abadi - tetap lestari dalam kurun waktu dimana revolusi itu berlangsung “. Umpamanya setiap nabi yang datang selalu mengajarkan ‘Ubudulloha robbi wa Robbakum”. Penyembahan terhadap Tuhan merupakan ajaran sejati yang bersifat abadi, namun tatacara penyembahan itu mengalami perkembangan sesuai masanya. Mengenai hal ini satu ayat Al-Qur’an mendukung kebenarannya :
               •      
ayat manapun yang Kami hapuskan, atau Kami biarkan terlupa, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS 2:106).
Ada kekeliruan dalam mengambil kesimpulan dari ayat ini bahwa, beberapa ayat Alquran telah dimansukhkan (tidak berarti lagi). Kesimpulan itu jelas salah dan tidak beralasan. Tiada sesuatu dalam ayat ini yang menunjukkan bahwa, kata ayah itu maksudnya ayat-ayat Alquran. Dalam ayat sebelum dan sesudahnya telah disinggung mengenai Ahlilkitab dan keirian mereka terhadap Wahyu baru yang menunjukkan bahwa ayah yang disebut dalam ayat ini sebagai mansukh, menunjuk kepada Wahyu-wahyu terdahulu. Dijelaskan bahwa Kitab Suci terdahulu mengandung dua macam perintah :

(a) yang menghendaki penghapusan karena keadaan sudah berubah dan karena keuniversilan Wahyu baru itu, menghendaki penghapusan.
(b) yang mengandung kebenaran kekal-abadi, atau memerlukan penyegaran kembali sehingga orang dapat diingatkan kembali akan kebenaran yang terlupakan.

Maka oleh karena itu, perlu sekali menghapuskan bagian-bagian tertentu Kitab-kitab Suci itu dan mengganti dengan perintah-perintah baru dan pula menegakkan kembali perintah-perintah yang sudah hilang. Maka, Tuhan menghapuskan beberapa bagian Wahyu-wahyu terdahulu, menggantikannya dengan yang baru dan lebih baik, dan di samping itu memasukkan lagi bagian-bagian yang hilang dengan yang sama. Itulah arti yang sesuai dan cocok dengan konteks (letak) ayat ini dan dengan jiwa umum ajaran Alquran.



Alquran telah menghapuskan semua Kitab Suci sebelumnya; sebab mengingat keadaan umat manusia telah berubah – Alquran membawa syariat baru yang bukan saja lebih baik daripada semua syariat lama, tetepi ditujukan pula kepada seluruh umat manusia dari semua zaman. Ajaran yang lebih rendah dengan lingkup tugas yang terbatas harus memberikan tempatnya kepada ajaran yang lebih baik dan lebih tinggi dengan lingkup tugas universal.

Dalam ayat ini kata nansakh ( Kami menghapuskan ) bertalian dengan kata bi khairin (yang lebih baik), dan kata nunsiha (Kami biarkan terlupakan) bertalian dengan kata bi-mitslihaa (yang semisalnya), maksudnya bahwa jika Tuhan menghapuskan sesuatu maka dia menggantikannya dengan yang lebuh baik; dan bila untuk sementara waktu Dia membiarkan sesuatu dilupakan orang, Dia menghidupkannya kembali pada waktu yang lain. Diakui oleh ulama-ulama Yahudi sendiri bahwa sesudah bangsa Yahudi diangkut sebagai tawanan ke Babil oleh Nebukadnezar, seluruh Taurat (lime Kitab Nabi Musa a.s.) telah hilang (Enc. Bib). (dikutip dari Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, JAI).