JAKARTA - Anggota jemaah Ahmadiyah diburu, dikepung ruang geraknya, seperti binatang. Bukan hanya oleh orang-orang di lapisan bawah, tapi juga oleh elite negara dan ulama. Wujudnya adalah kebijakan jahat yang dibuat elite tersebut dalam bentuk surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, dan dikaitkan dengan undang-undang penistaan agama. Dalam SKB itu, Ahmadiyah jelas kehilangan hak-hak asasinya yang paling fundamental sebagai warga negara, yakni kebebasan berkeyakinan dan menjalankannya.
Sejumlah aktivis mengajukan review kebijakan dan undang-undang yang digunakan untuk mendiskriminasi dan membantai warga Ahmadiyah itu. Dasar pengajuan review tersebut adalah kebijakan yang diskriminatif itu dinilai bertentangan dengan konstitusi, yang menjamin kebebasan berkeyakinan serta beragama dan, karena itu, wajib hukumnya dibatalkan. Kita tahu semua, Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan tersebut.
Kalau bicara secara pribadi dengan para pejabat negara tersebut, mereka mengakui bahwa kebijakan negara itu diskriminatif dan melanggar konstitusi. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan bicara secara jernih pun bahwa setiap warga, apa pun keyakinannya, dijamin di negeri hukum ini mereka tidak berani. Saya melihat mereka takut. Takut terhadap siapa? Saya tidak tahu, tapi kesan saya, mereka takut terhadap "umat Islam".
Umat Islam adalah kolektivitas yang dibayangkan hidup, punya logika, dan punya jalan pikiran sendiri. Ia punya sikap tentang apa itu Islam dan apa itu bukan Islam. Barang siapa yang memahami Islam di luar pemahamannya dianggap mengancam Islam dan umat Islam dan, karena itu, harus dikeluarkan. Bila tidak mau keluar, tetap bernaung dalam nama Islam, ia dinilai pantas dimusnahkan.
Sikap umat seperti ini sebenarnya diciptakan dalam sejarah oleh sebuah otoritas agama atau ulama dan negara atas dasar penafsiran yang dinilai berlaku umum dalam tradisi otoritas tersebut. Peran ulama adalah membentuk paham-paham Islam mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Sampai di situ tidak apa-apa. Tapi, ketika otoritas agama ini punya kekuasaan atau bisa menggunakan kekuasaan negara, paham tersebut bisa punya daya paksa dan bahkan daya musnah seperti yang kita saksikan di Pandeglang itu.
Negara bisa dipaksa atau mungkin dipersuasi oleh ulama, terutama Majelis Ulama dan para ulama di Kementerian Agama karena petinggi negara terkait takut dinilai membela hak-hak beragama jemaah Ahmadiyah. Mereka takut dinilai memusuhi umat Islam kalau menolak permintaan para ulama untuk mengkerangkeng jemaah Ahmadiyah.
Saya tahu para ulama itu sungguh-sungguh melihat Ahmadiyah sebagai ancaman terhadap umat Islam. Tapi para pejabat negara terkait sebenarnya tidak merasa seperti itu. Sebenarnya banyak di antara mereka yang memandang bahwa paham seperti yang dipegang oleh Ahmadiyah merupakan hak jemaah Ahmadiyah sendiri dan negara tidak boleh memaksa mereka berislam selain cara mereka sendiri. Mereka juga percaya bahwa negara wajib melindungi setiap keyakinan apa pun, termasuk keyakinan yang dikaitkan dengan Islam, seperti Ahmadiyah. Tapi elite negara itu takut terhadap umat kalau harus mengatakan demikian secara terbuka kepada publik. Mereka takut dinilai merusak Islam, dan takut dimusuhi umat Islam.
Ketakutan elite negara, yang umumnya awam dengan tafsir Islam, itu semakin menjadi-jadi karena hampir tidak ada ulama tandingan dari umat Islam yang berpengaruh untuk menyampaikan paham alternatif terhadap pandangan tentang Islam yang dinilai umum tersebut. Kita tahu ada sejumlah ulama atau intelektual yang menoleransi adanya perbedaan paham dalam Islam, termasuk yang berkaitan dengan akidah, karena mereka tahu bahwa perbedaan semacam itu punya sejarah yang panjang dalam tradisi Islam. Dan sah adanya.
Kita ingat bagaimana para pendukung Sayidina Ali dan para pendukung Sayidina Usman saling mengkafirkan, saling mengeluarkan mereka dari Islam. Padahal mereka semua para pengikut setia Nabi. Mereka berebut pengaruh. Bukan soal paham agama betul.
Kita tahu banyak ulama besar pada masa keemasan Islam yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu, yang menganggap akal lebih penting daripada wahyu. Juga kita ingat perdebatan besar para ulama Asyariah dan Mu'tazilah tentang hakikat wahyu atau Al-Quran, apakah ia kekal (qadim) atau baru (hadis). Kita juga tahu ada ulama besar tasawuf, seperti Yazid Albustami atau Al-Hallaj, yang punya ungkapan ganjil bagi awam umat Islam ketika mengatakan, misalnya, "tidak ada Tuhan selain Aku"; "Aku adalah Tuhan", dan seterusnya.
Itu semua wilayah akidah dan, karena itu, beda paham dalam soal akidah juga biasa saja. Kalau Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya seorang nabi, ya, tidak ada apa-apanya kalau kita melihat perbedaan paham para ulama pada zaman keemasan Islam tersebut. Jangankan yang mengaku sebagai nabi, yang mengaku dirinya sebagai Allah saja ada. Jangankan perbedaan paham dalam menafsirkan sumber doktrin Islam, yakni Al-Quran, yang menganggap Al-Quran kurang penting pun ada. Dan semuanya berdasarkan atas otoritas keulaman mereka.
Celakanya, para ulama yang berdiri di belakang SKB itu cukup tahu sejarah Islam, tapi mereka memilih secara selektif. Seleksi itu bukan karena mereka sudah bertemu dengan Allah dan mengatakan bahwa Allah membenarkan substansi SKB itu, tapi lebih karena perasaan dan sejarah sosial mereka sendiri dalam lingkungan ulama Indonesia yang jumud, yang mata hatinya tertutup terhadap kenyataan bahwa ini adalah Indonesia, negara Pancasila, bukan negara Islam.
Sejauh ini para ulama yang bernafsu mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam cukup berhasil memonopoli arti dan makna Islam itu, sehingga paham yang lain harus dimusnahkan. Lebih dari itu, mereka kemudian berhasil juga menciptakan ketakutan di seantero negeri, termasuk kepada para jenderal yang paham keislamannya dari tradisi abangan itu.
Para elite negara begitu takut kepada umat Islam yang maknanya ciptaan para ulama itu. Mereka begitu percaya, kalau melawan paham ulama itu, mereka akan ditinggalkan umat Islam, yang membentuk hampir seluruh penduduk negeri ini. Kalau ditinggalkan, apalagi dimusuhi umat yang buatan ulama itu, habislah riwayat petinggi negara yang nasibnya bergantung pada pilihan umat itu, apakah itu presiden, anggota DPR, gubernur, maupun bupati. Pejabat-pejabat negara lainnya yang tak dipilih umat, seperti yang duduk di Mahkamah Konstitusi, kejaksaan, kepolisian, dan kementerian, juga takut karena bergantung pada para pejabat yang dipilih umat tersebut. Umat berkuasa, dan membuat takut seantero negeri.
Sumber: Koran Tempo l Penulis: Syaiful Mujani.DOSEN FISIP UIN JAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar