Sabtu, 07 Maret 2009

Mut'ah dan Taqiyah

BAB I

NIKAH MUT’AH

A. Pengertian

Asal kata Mut’ah ialah sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya benda yang diberikan sebagai “ganti rugi” kepada istri yang telah diceraikan. Demikian pula kata kerja tamatta’a dan istamta’ berasal dari akar kata yang sama, yang berarti menikmati atau bernikmat-nikmat dengan sesuatu. secara harfiah mut'ah berarti barang yang sedikit atau barang menyenangkan.[1]

Yang dimaksud dengan nikah mut’ah (yaitu salah satu diantara beberapa penyebab perselisihan pendapat antara kaum syi’ah dan sunnah) ialah apabila seorang wanita mengawinkan dirinya dalam keadaan tidak ada hambatan apa pun (pada diri wanita tersebut) yang membuatnya haram dinikahi, sesuai dengan aturan agama. Baik yang berupa hambatan nasab, periparan, persusuan, ikatan perkawinan dengan orang lain, iddah, atau lain-lain sebab yang merupakan hambatan yang ditetapkan dalam agama, misalnya bila wanita itu pernah dinikahi oleh ayah atau ia adalah saudara dari istri yang sekarang atau adanya hambatan lainnya. Wanita itu yang bebas dari hambatan-hambatan di atas dapat menikahkan dirinya kepada anda dengan mahar tertentu sampai batas waktu yang telah ditentukan dan disetujui bersama, dengan cara akad nikah yang memenuhi seluruh persyaratan keabsahannya menurut syariat.[2]

Nikah mut'ah adalah mengawini wanita dalam batas waktu tertentu dan ikatan perkawinan dengan berakhirnya masa perjanjian.[3] ika batas itu sudah sampai, maka terjadilah perpisahan antara suami dan isteri dengan sendirinya.[4]

B. Sejarah

Nikah mut'ah terjadi di masa-masa awal sejarah Islam tatkala para sahabat Nabi Muhammad saw. karena bertugas dalam peperangan, merantau ke daerah-daerah baru yang cukup jauh dan memerlukan waktu lama. Di tempat-tempat yang baru ini, diantara sahabat ada yang menikahi wanita-wanita setempat untuk kemudian setelah beberapa waktu lamanya mereka pulang kembali ke negeri asalnya.

Menurut sebagian riwayat, nikah mut'ah tersebut terjadi di banyak tempat dan waktu, antara lain pada waktu Khaibar ( 7 H/628 M), pada peristiwa Umrad al-Qada ( 7 H/629 M), pada tahun pembebasan kota Mekkah atau Amul Fathi ( 8 H/630 M), ketika terjadi perang Hunain ( 8 H/630 M), dan sewaktu berkobar perang Tabuk ( 9 H/630 M).[5]

C. Praktek Nikah Mut'ah

Pada nikah mut'ah kedua belah pihak (suami-istri) dapat menentukan jangka waktu yang mereka kehendaki. Keduanya juga dapat memperpanjang jangka waktu dengan mengulangi akad baru atau berpisah setelah habisnya waktu yang mereka tentukan bersama.[6]

Syarat sah dalam nikah mut'ah ini harus dipenuhi semua, diantaranya : baligh, berakal dan tidak ada suatu halangan syar'i untuk berlangsungnya perkawinan tersebut, seperti adanya nasab, saudara sesusu, masih menjadi istri orang lain, atau menjadi saudara perempuan istrinya (ipar) sebagaimana yang telah disebut dalam kitab-kitab fiqih.

Adapun bentuk lafal disaat mengucapkan akad perkawian ialah pihak perempuan mengucapkan kepada seorang laki-laki dengan menggunakan salah satu lafal-lafal berikut : Zawwajtuka, Ankahtuka atau Matta'tuka nafsi bimahri (dengan mahar)......Limuddati (untuk jangka waktu).......mahar dan jangka waktu tersebut ditentukan menurut kesepakatan bersama, misalnya satu bulan atau satu tahun. Kemudian pihak lelaki mengucapkan dengan spontan : “ Qabiltu “ (aku setuju).[7]

Maka dapat dirinci nikah mut'ah yang terjadi pada kaum Syi'ah, sebagai berikut:[8]

  1. Nikah yang bertempo atau kontrak dalam waktu tertentu dan telah disetujui oleh kedua belah pihak. Misalnya satu bulankah, seminggu atau satu hari pun boleh, bahkan satu kali jima' pun jadi. Apabila waktu habis.? Keduanya pun berpisah! Kecuali kalau keduanya setuju untuk menambah atau memperpanjang kontrakan. Memang aneh tapi itulah yang terjadi pada kaum syi'ah dan mereka tidak bisa mengingkarinya kecuali bertaqiyah (berdusta untuk menutupi rahasia).
  2. Dalam nikah ini, wali dan dua orang saksi tidak menjadi syarat sahnya nikah. Jadi apabila seorang laki-laki menyatakan keinginannya kepada seorang perempuan yang akan dimut'ahnya dengan mahar sekian dan dalam waktu sekian, kemudian perempuan itu setuju, maka jadilah mereka mut'ah meskipun tanpa dihadiri oleh wali dan saksi, kecuali mereka berdua.
  3. Dalam nikah mut'ah ini tidak ada thalaq.
  4. Tidak ada 'iddah syar'i kecuali 'iddah yang dibuat-buat oleh kaum Syi'ah dan itu bukanlah suatu keharusan.
  5. Tidak ada waris-mewarisi apabila salah seorangnya wafat.
  6. Tidak ada kewajiban memberi nafkah.
  7. Tidak ada batas jumlah perempuan yang bisa dimut'ah.
  8. Seorang lak-laki boleh mut'ah dengan perempuan yang mana saja dan dari agama apa saja. Yahudi, Nashrani, Budha atau Hindu dan lain-lain agama sampai kepada yang tidak beragama. Khomeini, di dalam kitabnya Tahriru al-Wasilah dengan tegas memfatwakan kebolehan mut'ah dengan perempuan pelacur.
  9. Boleh mut'ah dengan isteri orang secara sembunyi-sembunyi.
  10. Diperbolehkannya menyetubuhi dubur isterinya atau wanita mut'ahnya yang kita namakan sebagai liwath.
  11. Ada satu mut'ah yang mereka namakan dengan mut'ah dauriyyah (mut'ah jama'ah bergi-liran. Caranya: beberapa orang laki-laki (berjama'ah) mut'ah dengan seorang perempuan, kemudian mereka ikrar saling bergantian menyetubuhi perempuan tersebut.

D. Dalil-Dalil yang Dipakai Syi'ah

Dalam kitab tafsir Minhajus Shadiqin dijelaskan tentang keistimewaan kawin kontrak menurut kaca mata syi'ah adalah “ barang siapa mut'ah satu kali derajatnya sama dengan derajat Husain, barang siapa mut'ah dua kali derajatnya sama dengan derajat Hasan, barang siapa mut'ah tiga kali derajatnya sama dengan derajatnya Ali bin Abi Thalib. Dan barang siapa mut'ah empat kali derajatnya sama dengan derajat Nabi Saw.

Imam Kulainiy salah seorang ulama syi'ah meriwayatkan : bahwa Zuroroh pernah bertanya kepada Abu Hasan Al-ridla salah seorang ahlul bait yang dianggap imam ke VIII syi'ah. Zuroroh bertanya : bolehkah masa mut'ah sesaat atau dua saat (waktu yang sangat pendek) jawanya : “ mut'ah diperbolehkan bukannya hanya sesaat atau dua saat, namun boleh mut'ah sekalipunhanya satu kali jima ( persetubuhan) atau satu kali celup atau dua kali celup, boleh juga satu hari atau dua hari, semalaman atau dua malam dan seterusnya.

Ibnu Babasaih meriwayatkan bahwa Abu Ja'far (Muhammad Baqir) pernah ditanya “apakah orang mut'ah mendapat pahala ? Jawabnya : “kalau dia malakukan karena Allah yang Maha Tinggi dan dalam rangka mengingkari orang yang mengharamkan mut'ah, maka tidaklah ia berbicara dengan wanita mut'ahnya, melainkan Allah akan menulis kebaikan (pahala) pada setiap kata yang diucapkan. Dan tidaklah laki-laki yang mut'ah wanita itu mengulurkan tangannya kepada wanita yang dimut'ah melainkan Allah menulis pahala baginya, dan bila laki-laki itu mendekat kepada wanita mut'ahnya melainkan Allah mengampuni dosanya. Dan bila ia mandi junub setelah berhubungan badan dengan wanita mut'ahnya,Allah mengmpuni dosanya sebanyak air yang mengalir lewat rambutnya. Aku bertanya : “ sebanyak rambutnya ? Jawabnya : “ ya, sebanyak rambutnya “.[9]

Telah disepakati oleh setiap orang yang mengaku dirinya muslim bahwa Allah Swt telah menetapkan perkawinan mut'ah tersebut dalam syariat islam. Ayat yang menunjukan adanya perkawinan mut’ah dalam Al-quran yang berbunyi :

Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban (An-Nisa : 24 ).

“Barang siapa diantara kalian melakukan perkawinan dengan menggunakan batas waktu maka bayarlah maharnya”.

Hubaib bin Abi Tsabit, mujahid dan Hakam bin Utaibah juga mengatakan bahwa ayat tersebut turun untuk menjelaskan perkawinan mut’ah.[10]

Muslim dalam shahihnya, juz I, bab perkawinan pada pasal nikah mut’ah telah merawikan sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Akwah bahwa mereka berkata : “seorang yang ditugasi oleh Rasululllah Saw muncul dihadapan kami seraya berseru : “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mengizinkan kalian untuk bermut’ah (yakni nikah mut’ah).[11]

Di dalam agama Syi'ah nikah mut'ah mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan mulia. Ibadah yang paling afdhal dan seutama cara untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Mut'ah adalah rukun iman.

Ibnu Babawaih meriwayatkan : Bahwa Abu Ja'far (Muhammad Baqir) pernah ditanya: Apakah orang mut'ah itu mendapat pahala?

Jawabnya: Kalau ia melakukannya karena Allah Yang Maha Tinggi dan dalam rangka mengingkari orang yang menentang amalan ini, maka tidaklah ia berbicara satu kata dengan wanita mut'ahnya. Maka Allah akan menulis kebaikan pada setiap kata, dan tidaklah laki-laki yang mengulurkan tangannya kepada wanita yang hendak dimut'ah melainkan Allah akan menulis kebaikan baginya, dan bila ia mendekat kepada wanita mut'ahnya melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosanya, dan bila ia mandi junub setelah berhubungan badan dengan wanita mut'ahnya, Allah akan mengampuni dosanya sebanyak air yang mengalir lewat rambutnya. Aku bertanya: Sebanyak rambutnya? Jawabnya: Ya, sebanyak rambutnya.[12]

E. Bantahan-Bantahan

Diriwayatkan dari Subrah al-Juhani bahwa ayahnya pernah berbicara padanya, dulu dia (ayahnya) pernah bersama Rasulullah Saw waktu itu beliau berkata : “Wahai manusia, dulu saya izinkan kalian bersenang-senang dengan wanita (nikah mut’ah), namun sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barang siapa yang mempunyai wanita-wanita yang dikawini dengan kawin mut’ah, maka lepaskan mereka. Dan janganlah kalian mengambil sesuatu pun dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka.[13]

Dari Ali ra berkata :

إِنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَ عَنْ لُحُوْمِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ (متفق عليه)

“ Rasulullah Saw melarang nikah mut’ah dan juga daging keledai peliharaan pada masa perang khaibar”[14]

Ibnu Katsir berpendapat mengenai bagian terakhir surat An-Nisa : 24 sebagai berikut.

Mujahid mengatakan bahwa (Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya), menjelaskan mengenai nikah mut’ah. Nikah mut’ah yaitu pernikahan yang memiliki jangka waktu yang telah ditentukan. Dalam dua hadits shahih dikatakan bahwa Hazrat Ali bin Abi Talib mengatakan, Bahwa Rasulullah saw. melarang untuk menikahi wanita secara mut`ah dan memakan daging keledai piaraan ketika perang Khaibar. Sebagai tambahan dalam Shahih Muslim dijelaskan bahwa Ar-Rabi’ bin Sabrah bin Ma’ad Al-Juhani mengatakan bahwa ayahnya mengatakan bahwa dia menemani Rasulullah saw. saat Fatah Mekah, kemudian Rasulullah saw bersabda “Wahai sekalian orang! Aku mengizinkan kalian menikah secara Mut’ah sebelum ini. Sekarang, Allah telah melarangnya hingga hari kiamat. Maka dari itu, setiap orang yang memiliki isteri-isteri secara Mut’ah , biarkanlah ia melepaskan mereka, dan jangan kalian ambil apapun yang telah kalian berikan kepada mereka.” Firman Allah Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu serupa dengan firman Tuhan yang lainnya.[15]

Yusuf al-Qaradawi menuliskan: Alasan diizinkannya nikah mut’ah pada mulanya yaitu karena umat Muslim melewati suatu masa yang disebut masa transisi dari jahiliyah menuju islam. Perzinahan sangat umum dan luas sekali di kalangan bangsa Arab pra-Islam. Setelah kedatangan Islam, ketika mereka diminta untuk berperang, mereka berada dalam tekanan yang sangat berat disebabkan tidak adanya istri-istri mereka dalam jangka waktu yang lama. Diantara orang-oarang yang beriman ada yang keimanannya kuat tetapi ada pula yang lemah.[16]

F. Tanggapan Dari Jemaat Ahmadiyah

Sekarang kita lihat di dalam Alqur’an mengenai hukum jima’ orang-orang syi’ah menunjukkan ayat

Akan tetapi jika kita melihat penjelasan ayat sebelum dan sesudahnya maka dapat kita lihat bahwa ayat ini bukannya mendukung nikah mut’ah malahan menentang adanya nikah mut’ah. Allah Ta’ala berfirman sebelumnya

Yaitu disebutkan bahwa diharamkan bagi seseorang ibu-ibu mereka dan yang menyerupainya untuk dinikahi. Kemudian disebutkan

¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ

Yaitu wanita-wanita selain yang disebutkan pada ayat sebelumnya diperbolehkan untuk dinikahi. Akan tetapi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelumnya, yaitu:

  1. yaitu bahwa kita harus melunasi mahar
  2. yaitu harus mengikat wanita maksudnya dalam ikatan suami-istri ada perjanjian untuk tidak saling meninggalkan.
  3. yaitu tujuan nikah tersebut tidak boleh karena nafsu syahwat semata.

Ketiga syarat harus dipenuhi agar seseorang dapat menikah. Pertama-tama seorang pria harus memenuhi syarat yang pertama yaitu dia harus melunasi mahar yang telah dijanjikan. Untuk itu Allah berfirman "yaitu jika kalian ingin mendapatkan faidah dari (wanita-wanita tersebut) maka bayarlah maharnya. Dari ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa untuk menikahi seorang wanita maka seseorang harus memenuhi ketiga syarat tersebut. Kemudian di dalam mut’ah nikah syarat yang kedua menjadi hilang yaitu harus mengikat wanita. Maka dari itu dilarang menikah dengan cara mut’ah.[17]

Di dalam Tafsir Singkat Jema’at Ahmadiyah terdapat penjelasan dari ayat tersebut yaitu:

Tamatta’a bi’l mar’ati berarti, ia mengambil manfaat dari perempuan untuk sementara waktu. Istamta’a bi kadzaa artinya ia mengambil manfaat dari barang itu untuk waktu yang lama. Muhawarah (idiom) bahasa Arab tidak mengizinkan penggunaan kata istamta berkenaan dengan seorang perempuan dalam pengertian perhubungan sementara (lisan). Dapat juga dicatat bahwa manakal kata benda tamattu dipergunakan untuk menyatakan perhubungan sementara dengan seorang perempuan, maka kata benda itu diikuti oleh kata perangkai ba yang diletakkan sebelum kata yang dipakai untuk perempuan, sebagaimana didalam contoh diatas. Seorang penyair Arab mengatakan, tamatta bihaa maa saa’fatka wa laa takun alaika syajan fi’l halqi tabiinuu (Hamasah), yakni, ambilah manfaat dari dia (perempuan) selama dia menyenangkan hatimu, tetapi ababila dia dipisahkan dari kamu janganlah membiarkan dia jadi sumber kesusahan abadi bagimu laksana sepotong tulang yang tersangkut didalam kerongkongan. Akan tetapi, dalam ayat ini kata pengganti hunna, yang menunjuk kepada perempuan, didahului oleh kata perangkai min.

Kesalahkaprahan mut’ah rupa-rupanya timbul dari ketidakmampuan memahami perbedaan antara kata tamattu dan istimta, pengarang “lisan” mengutip zajjaj yang mengatakan, karena tidak tahu menahu tentang bahasa Arab, sementara orang telah mengambil kesimpulandari ayat ini halalnya mut’ah yang oleh kesepakatan pendapat para ulama telah dinyatakan haram, kata-kata famas tamta’ tum bihii minhunna tak lain hanya berarti perkawinan yang dilangsungkan sesuai dengan syarat-syarat yang disebutkan diatas. Jika sekiranya ada suatu isyarat terhadap mut’ah disini, maka kata perangkai yang dipergunakan itu seharusnya ba dan bukan min. lagi pula kata yagn telah dipergunakan ialah istamta dan bukan tamatta’a yang mempunyai pengertian lain dari pengertian kata yagn pertama. Begitu pula tidak dapat diambil suatu kesimpulan untuk mendukung praktek mut’ah dari kata ujurahunna yang berarti maskawin mereka, pengertian itu telah pula dipergunakan dalam Al-quran (33:51). Dengan demikian Alquran secara tegas melarang mut’ah dan memandang segala hubungan seks diluar perkawinan yang wajar sebagai zina.[18]

G. Kasus-Kasus Berkaitan dengan Nikah Mut’ah Yang Ada Di Indonesia

Ø KH. Irfan Zidny, MA yang mengaku satu guru satu ilmu dengan Ayatullah Khomeini memang layak untuk menyatakan kepedihan hatinya di hadapan sekitar 1000 peserta seminar sehari tentang Syi'ah di Aula Masjid Istiqlal Jakarta. Kiai jebolan Baghdad ini tidak dapat memben-dung deraian air matanya ketika memulai membeberkan kesesatan aliran Syi'ah dalam seminar Nasional tentang Syi'ah tersebut.[19]

Ø Mahasiswi semester VII sebuah perguruan tinggi yang mengaku jurusan Sospol di Bandung, mengeluhkan rasa pedih pada bagian alat vitalnya, kemudian memeriksakannya kepada salah seorang Dokter Penyakit Kulit dan Kelamin bernama Dokter Hanung.

Wanita asal Pekalongan yang tinggal di Bandung di sebuah rumah kos "Wisma Fathimah" Jl. Alex Kwilarang 63 itu telah dua kali memeriksakan penyakit yang dideritanya kepada dokter tersebut yang pada akhir kalinya ia tercengang mendengar keterangan dokter bahwa sesuai hasil penelitian laboratorium, semua menyokong diagnosis bahwa penyakit yang diderita wanita yang katanya sering mengikuti pengajian Jalaluddin Rahmat di Bandung itu menderita penyakit yang disebabkan karena terlalu sering berganti-ganti pasangan dalam berhubungan badan, atau yang lazim disebut penyakit yang diderita para pelacur. Mendengar keterangan dokter bahwa penyakit yang dideritanya adalah penyakit kotor yang memalukan dan mematikan, maka Mahasiswi yang berjilbab biru dan bercadar itu terkejut dan berteriak sambil berkata: "Tidak mungkin." (Halaman 44 s.d 47 berjudul :PASIEN TERAKHIR). Inilah salah satu contoh akibat buruk dari kawin mut'ah yang telah mencemarkan citra wanita Muslimah Ahlus Sunnah wal Jama'ah.[20]

Ø Iran merupakan negara basis dan produk Syi'ah. Negara dengan luas wilayah 1.648.000 Km2 dan jumlah penduduk 64.625.455 jiwa 98% memeluk agama Islam Syi'ah tersebut dipimpin oleh Rafsanjani, dia dipusingkan dengan lahirnya 250.000 bayi tanpa bapak akibat Kawin Mut'ah atau kawin kontrak. Iran merupakan negara Islam yang bebas dari segala bentuk pelacuran. Prianya berjubah, sementara wanita berjilbab dan bercadar. namun yang mengagetkan adalah Negara tersebut adalah termasuk sarang AIDS. Pada tahun 1994 yang lalu di Republik Islam Iran sudah terdata 82 orang yang meninggal karena AIDS dan yang terserang AIDS sudah mencapai 5.000 orang. Itulah sebagian dari kerusakan nikah mut'ah agama Syi'ah, pengikut-pengikut Abdullah bin Saba', sang penyebar fitnah dan kerusakan besar di dalam Islam dan kaum Muslimin. Hendaknya kaum Muslimin waspada dan hati-hati terhadap agama Syi'ah yang mengatasnamakan Islam ini. Dan kepada mereka yang tertipu oleh Jurus Taqiyah (berbohong untuk menyembunyikan rahasia) segeralah bertaubat kembali kepada Rabbul 'Alamin. Inilah perkenalan kita dengan agama Syi'ah buatan kaum zindiq dan munafik, ajaran yang sesat dan menyesatkan dan menjadi shaf terdepan dari sekalian ajaran sesat dan kufur yang akan merusak Islam dan kaum Muslimin dari dalam. [21]



BAB II

TAQIYAH

A. Pengertian

Taqiyah berasal dari kata ittaqaytu asy-syaia wa taqaytuhu attaqihi wa atqihi tuqan wa taqiyyatan wa tiqaan, artinya “ saya mewaspadai “.[22]) Di antara seperti ini adalah tuqatan yang dalam qiraat lain disebut dengan taqiyah [23]) yaitu dalam firman Allah Swt,

لاَّ يَتَّخِذِ آلْمُؤْمِنُوْنَ الْكَفِرِيْنَ أَوْلِيَآءَ مِنْ دُوْنِ آلْمُؤْمِنِيْنَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِى شَىْءٍ إِلَّآ أَنْ تَتَقُّوْا مِنْهُمْ (آل عمران : 28)

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”.[24]

Taqiyah “ prinsip kehati-hatian” , yakni keringanan untuk tidak menyatakan pandangan pada saat berada dibawah tekanan atau ancaman.[25] ( oleh : Philip K. Hitti “ History of the Arabs “ ).

Adapun menurut Syi’ah taqiyah berarti perbuatan seseorang yang menampakkan sesuatu berbeda dengan apa yang ada dalam hatinya.[26]

B. Sejarah

Al-mutawakkil yang muncul pada 850 M meneruskan penganiayaan atas kelompok syiah sebagaimana dilakukan pada periode Ummayah; ia menghancurkan kuburan Ali di Najaf dan kuburan Al-Husain yang sangat dimuliakan di Karbala. Tindakan-tindakannya memancing kebencian dari semua kalangan syiah. Pada tahun 1029 M, Khalifah Al-Qadir memecat seseorang imam syiah. Di masjid Bagdad serta menggantinya dengan seorang imam sunni. Sikap permusuhan itu mendorong kalangan syiah untuk menetapkan prinsip kehati-hatian (taqiyah) yakni keringanan untuk tidak menyatakan pandangan agama saat berada di bawah tekanan atau ancaman.[27]

C. Praktek Taqiyah

Kaum syi’ah telah berlebihan berpegangan kepada taqiyah sehingga menjadikannya dasar bagi agama mereka dan prinsip penting dalam agama mereka, serta menisbatkannya kepada imam-imam mereka yang ma’shum. Dalam hal ini mereka meriwayatkan hadits banyak dari imam-imam mereka dan dalam kitab-kitab mereka yang paling dipercaya. Sebagai contoh, al-kulaini meriwayatkan dari Ibn Umar al-A’jami, Abu Abdullah berkata kepadaku :

“Hai Abu Umar, sembilan sepersepuluh dari agama adalah dalam taqiyah, tak ada agama bagi orang yang tak punya taqiyah. Taqiyah adalah dalam segala hal kecuali dalam minuman keras dan mengusap khuf (sepatu) “.

Agama apakah yang sembilan sepersepuluhnya terdapat dalam kebohongan?

Kulaini meriwayatkan juga dari Abu Abdullah : “Hati-hatilah terhadap agamamu, dan tutupilah dengan taqiyah, karena tak ada iman bagi orang yang tak mempunyai taqiyah “.

Kulaini menyebutkan bahwa Abu Ja’far berkata : “Taqiyah itu agamaku dan agama nenek moyangku, tidak ada iman bagi orang yang tidak mempunyai taqiyah.

Kulaini berkata juga : Dari Abu Abdullah, dalam firman Allah : Ÿ


(tidak sama yang baik dan yang jelek).[28] Ia berkata....... adalah taqiyah dan......... adalah terang-terangan.

Dan tentang sabda Tuhan : (tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik)[29]. Ia berkata : yang lebih baik adalah taqiyah.

Kulaini meriwayatkan dari Abu Abdullah : Ia berkata : bapakku berkata : “Tak ada yang lebih baik bagi aku dari pada taqiyah”. Taqiyah adalah surganya orang mukmin (atau tutup bagi orang mukmin).

Lebih dari itu, Kulaini meriwayatkan dari Abi Basir : Ia berkata, Abu Abdullah berkata : “Taqiyah adalah agama Allah”, Aku berkata : “Dari agama Allah?” Ia berkata : “Ya, demi Allah, itu dari agama Allah”.[30]

Syiah menjadikan taqiyah sebagai salah satu prinsipnya. Adapun taqiyah menurut mereka adalah, apabila “kamu mengatakan atau melakukan selain yang kamu yakini untuk menolak mudharat atas dirimu atau hartamu atau untuk menjaga kehormatanmu. Seperti bila kamu berada diantara kaum yang beragama selain agamamu dan mereka sangat berlebihan dalam fanatik. Yaitu sekiranya kamu tidak sama dengan mereka dalam ucapan dan perbuatan, maka mereka akan sengaja melakukan kemudharatan atau berlaku jahat kepadamu. Maka kamu berperilaku sama seperti mereka sekadar untuk menjaga dirimu dan menghindarkan gangguan kepadamu. Sebab keadaan darurat ditentukan sesuai dengan keadaannya.[31]

Syiah Imamiyah berpendapat bahwa melaksanakan taqiyah terdapat tiga hukum di dalamnya, yaitu:[32]

Pertama : wajib, yaitu ketika meninggalkan taqiyah menyebabkan kematian tanpa faedah.

Kedua : dispensasi, yaitu bila meninggalkan taqiyah dan menampakan kebenaran merupakan penguatan terhadap kebenaran itu sendiri. Maka dalam hal ini seseorang boleh mengorbankan dirinya dan boleh menjaga dirinya.

Ketiga : haram, yaitu bila dalam melakukan taqiyah menjadi sebab terjadinya kebatilan, menyesatkan manusia, menghidupkan kezaliman dan kelacuran.

D. Dalil yang Digunakan Syi’ah

Mereka berdalil atas kebenaran prinsip ini dengan ayat tersebut dan dengan firman Allah Swt

Artinya: “kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman”[33]

Juga dengan kisah Ammar bin Yasir ketika ditangkap orang-orang musyrik dan tidak dilepaskan hingga mencaci maki Rasulullah Saw dan menyebut baik kepada tuhan-tuhan mereka. Tapi demikian itu tidak mempengaruhi keimanannya sedikit pun. Dan dalil-dalil lain yang memperbolehkan orang mukmin menampakan selain yang terdapat dalam hatinya untuk melindungi kehidupannya atau harga dirinya.[34]

E. Bantahan-Bantahan

Taqiyah yang dilakukan oleh kelompok Imamiyah adalah kemunafikan. Mereka terang-terangan melakukannya dan saling mengajarkannya diantara mereka dan juga saling menganjurkan. Syekhul Islam Ibn Taimiyah berkata :

“Kaum Syi’ah tidak mendasarkan agama mereka kecuali atas kebohongan dan kemunafikan. Mereka tidak mempropagandakan agama mereka kecuali dengan menunjukan apa yang tidak mereka percayai dalam hati mereka. Dan dengan menunjukan apa yang mereka simpan sebaliknya tanpa ada orang yang memaksa “.

Contoh yang baik adalah yang diriwayatkan oleh Kishi dalam kitabnya dari Ibn bin Taghlib :

Ia berkata : Aku berkata kepada Abu Abdullah : “Aku duduk di mesjid, maka datanglah orang banyak bertanya kepada saya. Jika aku menjawab mereka tidak mau menerima jawaban saya dan aku tidak suka menjawab meraka dengan jawaban tuan”.

Ia berkata : “Lihatlah apa yang kau ketahui sebagai pendapat mereka dan katakanlah kepada mereka”.

Contoh lain, yang diriwayatkan oleh Muadh bin Muslim al-Nahwi :

Abu Abdullah berkata kepadaku : “ Aku dengar engkau duduk dimesjid dan berfatwa kepada orang banyak ?”.

Aku berkata : “Ya, dan aku sudah berniat untuk menanya kamu tentang hal tersebut sebelum aku keluar. Aku duduk dimesjid, ada orang datang dan bertanya tentang sesuatu masalah, maka jika aku mengetahui yang bertentangan dengan kamu, aku memberitahunya dengan yang dikatakan orang banyak. Kemudian ada orang yang bertanya dan aku mengetahuinya cocok dengan kamu, maka aku sampaikan kepadamu”.

Maka Abu Ja’far berkata : “Lakukan hal tersebut, memang itulah yang kulakukan”.

Muhammad al-Baqir, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Basir, berkata : “ Pergaulilah mereka itu secara lahiriyah, dan tentanglah mereka itu secara batiniyah “.

Tiga riwayat ini jelas menunjukan bahwa taqiyah mereka itu hanya kemunafikan semata-mata.[35]

F. Tanggapan dari Jemaat Ahmadiyah

Apabila pada akidah-akidah diizinkan menyembunyikan dengan jalan seperti itu (taqiyah) maka jemaat Nabi tidak akan memperoleh kemajuan, apabila didalam corak taqiyah itu dibolehkan, maka Hazrat Ali ra, Hazrat Abu Bakar, Hazrat Bilal ra, dan para sahabah yang mulia lainnya mereka memperoleh keadaan yang begitu sengsara karena memeluk Islam dan mendapatkan musibah-musibah, pasti mereka mengambil faedah dari hal itu. Dan apabila mereka berbuat demikian maka siapa yang akan menjadi Muslim ? jadi telah dibuktikan didalam orang-orang yang begitu suci pun menanggung musibah-musibah juga tidak mengingkari bahwa mereka tidak mungkin memiliki akidah-akidah yang tidak disukai dan ini tidak termasuk didalam pengecualian bahwa menggantikan akidah-akidah karena takut.

Berkenaan dengan taqiyah adalah satu permasalahan yang begitu exstrem dan mereka mengatakan “taqiyah” baik atau buruk apabila dikatakan buruk maka ( 1 ) akidah-akidah syi’ah ini bertentangan ( 2 ) Hazrat Ali ra kenapa bertanya { biqauli syaman} apabila dikatakan baik maka kenapa Hazrat Imam Husen ra tidak melakukan {taqiyah} didalam perang melawan yazid?[36]

Di dalam Tafsir singkatnya terdapat penjelasan mengenai surah An-Nahl:106 yang berbunyi:

Artinya: “Barang siapa yang ingkar kepada Allah setelah ia beriman, kecuali orang yang telah dipaksa sedang hatinya tetap tentram dalam keimanan, akan tetapi orang yang membukakan dadanya untuk kekufuran, maka atas mereka kemurkaan dari Allah dan bagi mereka azab yang besar.”

Terdapat penjelasan mengenai kalimat “Barang siapa yang ingkar kepada Allah setelah ia beriman, kecuali orang yang telah dipaksa sedang hatinya tetap tentram dalam keimanan” yaitu:

Ayat ini tidak mengatakan apa-apa mengenai perlakuan Tuhan terhadap seseorang, yang karena dihimpit oleh percobaan-percobaan sangat berat. Mengucapkan kata-kata yang nampaknya seperti menyatakan kekafiran. Walupun didalam batinnya ia mungkin merasa puas dengan Islam. Ayat ini mengandung pengertian bahwa keputusan terakhir dalam perkara orang-orang semacam itu tidak diberitahukan, dan bahwa tingkah laku mereka di masa depan akan menentukan sifat perlakuan yang mereka akan terima dari Tuhan”[37]



BAB III

KESIMPULAN


Praktek mut’ah memang pernah diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dalam kapasitas beliau sebagai pemberi fatwa. Namun kondisi tersebut memiliki problem yang kompleks sehingga keluarlah sabda beliau tersebut yang membolehkan para sahabat untuk bermut’ah. Islam datang memberikan pencerahan dalam aspek akhlakul karimah melalui firman-firman-Nya untuk mengikis tradisi jahiliah bangsa Arab- dimana mut’ah termasuk di dalamnya.

Sejalan dengan terbentuknya masyarakat yang dinamis, Rasululah pun memansukhkan nikah mut’ah sampai hari kiamat dan menggantinya dengan praktek nikah dalam islam yang berasas sakinah mawadah warohmah lengkap dengan persyaratan yang ditetapkan oleh syariat. Hadhrat Ali r.a pun yang dianggap imam besar bahkan bisa mengalahkan posisi Rasulullah oleh agama syiah, mengharamkan praktek nikah mut’ah ini.

Nikah mut’ah oleh agama syiah memberikan gaya baru berteologi dalam islam, menghancurkan islam dari akar-akarnya lewat doktrin-doktri mereka yang ekstrim dengan menghalalkan segala cara yang jauh dari ajaran islam yang hakiki.

Taqiyah dalam doktrin agama syiah merupakan satu produk dengan mut’ah yang sama-sama dihasilkan untuk menutupi kebohongan demi kebohongan. Bertaqiyah dalam agama syiah merupakan sebuah prinsip beragama, tanpa taqiyah agama dianggap tak berarti dan doktrin ini diikuti oleh semua penganut paham agama syiah.

Namun ajaran islam yang sebenarnya telah membantah paham syiah tersebut. Makalah yang kami buat pun yang lengkap dengan referensi ilmiah merupakan salah satu bantahan kritis terhadap doktrin mut’ah dan taqiyah oleh agama syiah. Dan akhirnya dengan sangat terpaksa kelompok tiga mengeluarkan SKB bahwa agama syiah dilarang untuk disebarluaskan ajarannya dan ulama pun mendukung hal ini. Allahu akbar!!!

DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, M. Sufyan Raji, Drs., Lc., Mengenal Aliran-aliran dalam Islam dan Ciri-ciri Ajarannya, Jakarta: Pustaka Al-Riyadl, 2007

Al-Amili, Ja’far Murthada, Nikah Mut’ah dalam Islam: Kajian Ilmiah dari Berbagai Mazhab, Jakarta: Yayasan As-Sajjad, 1992

Al-Hasyimi, Kamil, Hakikat Akidah Syi’ah, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989

Al-Musawi , A. Syarifuddin, Isu-isu Penting Ikhtilaf, Bandung: Penerbit Mizan, 1967

As-Salus, Ali Ahmad, Prof., Dr., Ensiklopedi Sunnah-Syiah Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001, Jilid 1

Aunu Al-Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud, Jilid 6

Dar, Asif Mahmood, (ed.), Tabligi Pocket Book

Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997, Jilid 3

K. Hitti, Philip, History of The Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006

Malik Ghulam Farid, (ed.), Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, Bogor: Jema’at Ahmadiyah Indonesia, 1987

Nailul Authar, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001, Jilid 5

‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000

Qal’ahji, Muhammad Rawwas, Dr. (ed.), Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab ra, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999

Berbagai sumber internet dan majalah



[1] Ensiklopedia Islam, “Mutah, Nikah”, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), Jilid 3, Cet. Ke-4, h. 311

[2] A. Syarifuddin Al-Musawi, Isu-isu Penting Ikhtilaf, (Bandung: Penerbit Mizan, 1967), Cet. Ke-4, h. 87

[3] Aunu Al-Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud, Jilid 6, h. 82

[4] Muhammad Rawwas Qal’ahji, (ed.), “Mut’ah”, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab ra, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), Cet. Ke-1, h. 384

[5]Ensiklopedia Islam, op. cit. h. 312

[6] Ja’far Murthada Al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam: Kajian Ilmiah dari Berbagai Mazhab, (Jakarta: Yayasan As-Sajjad, 1992), Cet. Ke-1, h. 5

[7] Ibid., h. 17-18

[8] Syi'ah wa Ahlul Ba'it hal. 221-230 Ihsan Ilahi Zhahir, Syi'ah wal Mut'ah (seluruh isi kitab), Muhammad Maalullah; Tuhfatu al Itsna 'Asyariyyah hal. 227-230

[9] M. Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-aliran dalam Islam dan Ciri-ciri Ajarannya, (Jakarta: Pustaka Al-Riyadl, 2007), Cet. Ke-6, h. 100

[10] Ja’far Murthada Al-Amili, op. cit. h. 20-21

[11] A. Syarifuddin Al-Musawi, op.cit. h. 91

[12] M. Sufyan Raji Abdullah, loc. cit.

[13] Muhammad Rawwas Qal’ahji, (ed.), loc. cit. dan Nailul Authar, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001) Jilid 5, Cet ke-3 h. 2187

[14] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita,(Jakarta: Pustaka AL-kausar, 2000), cet ke-6 h.382-383

[15] http://www.tafsir.com

[17] Asif Mahmood Dar, (ed.), Tabligi Pocket Book, h. 166-167

[18] Malik Ghulam Farid, (ed.), Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, (Bogor: Jema’at Ahmadiyah Indonesia, 1987), Jilid 1, Cet. Ke-4 h.341-342

[19] Harian Terbit, Kamis 25 September 1997

[20] As-Sabiqunal Awwalun (ASA) Edisi V Th.II/1411 H.

[21] REPUBLIKA, Selasa 26 Juli 1994 hal. 16

[22] Lihat Al-Qamus Al-Muhith dan Lisan Al-Arab entri waqaya

[23] Lihat tafsir Al-Baidhawi hlm.70 dan Imla’manna bihi Ar-Rahmat oleh Al’Abkari: I/130

[24] Ali Ahmad As-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Jilid 1, Cet ke-1, h. 333

[25] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 556

[26] http://www.mail-archive.com/tumpat@yahoogroups.com/msg00329.html

[27] Philip K. Hitti, loc. cit.

[28] Fushilat : 34

[29] Al-Mu’minun : 96

[30] Muhammad Kamil al-Hasyimi, Hakikat Akidah Syi’ah, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989), h. 135-136

[31] Ali Ahmad As-Salus, op. cit. h. 333-334

[32] Ibid., h. 334

[33] An-Nahl : 106

[34] Ali Ahmad As-Salus, op. cit. h. 334

[35] Muhammad Kamil al-Hasyimi, op. cit., h. 136-137

[36] Asif Mahmood Dar, (ed.), Tabligi Pocket Book, h. 158-159

[37] Malik Ghulam Farid, (ed.), Jilid 2, Cet ke-3, h. 952-953

2 komentar:

  1. ahmadiyah tolong itu di pertanyakan lagi,jgn mempertanyakan syi'ah saja.ahmadiyah sendiri juga banyak salah di dalam syariatnya

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas komentarnya, bila ada waktu sdr bisa memberikan artikel jawabannya agar pembaca berimbang memperoleh informasinya, tentang Ahmadiyah, syariat yang mana yang saudara anggap salah bila mungkin saya akan menjawabnya

    BalasHapus