Selasa, 17 Maret 2009

PERBEDAAN PAHAM AHMADIYAH DENGAN ORANG LAIN

Barangkali Anda akan merasa heran, kendati kami mempercayai segala akidah-akidah dalam Islam, lalu apakah perbedaan faham di antara kami dan orang lain, dan sementara ulama demikian panas hati dan membenci kami, dan mengapakah mereka menjatuhkan fatwa kafir atas diri kami?
Wahai pembaca yang budiman, semogalah Allah Taala berkenan memelihara Anda dari kejahatan-kejahatan dunia, dan Dia membukakan pintu-pintu karunia-Nya kepada Anda. Sekarang kami akan menjelaskan kecaman-kecaman yang dilontarkan terhadap kami yang karenanya kami dinyatakan keluar dari Islam.
(l) Kecaman pertama yang dilontarkan orang-orang yang menentang kami ialah, karena kami mempercayai bahwa Hadhrat Isa a.s. telah wafat dan dikatakan, bahwa dengan demikian kami menghina Hadhrat Almasih dan mendustakan Alquranul Karim serta membantah keputusan Rasulullah saw. Namun kendati benar bahwa kami mengakui Hadhrat Isa a.s. telah wafat, tetapi tidaklah benar kalau demikian kami menghina Almasih a.s. dan mendustakan Alquranul Karim serta membantah keputusan Rasulullah saw. Sebab, kian dalam kami merenungkan, kian kami menyadari bahwa dengan mempercayai Nabi Isa a.s. wafat segala tuduhan tersebut tidak mengenai sasaran, bahkan kebalikannya apabila kami mempercayai beliau masih hidup, barulah segala tuduhan itu dapat dikenakan kepada kami.


Kami ini orang-orang Islam. Selaku orang-orang Islam maka yang pertama-tama terbayang di dalam pikiran kami ialah keagungan Allah Taala dan kehormatan Rasul-Nya saw. Walaupun kami mempercayai segenap rasul, akan tetapi kecintaan dan ghairat kami kepada Sang Nabi itu dengan serta merta lebih bergelora. Beliaulah yang telah membuat dirinya menderita demi kita dan untuk meringankan beban kita, beban itu diangkatnya di atas kepala beliau seorang diri. Demikian rupa beliau berduka cita melihat kita seakan-akan mati; seolah-olah kematian itu didatangkan diatas diri beliau sendiri.
Dan untuk mendatangkan kesenangan pada diri kita, beliau sendiri meninggalkan segala macam kesenangan . Untuk menjunjung kita ke atas, beliau sendiri menunduk ke bawah. Siang hari dilewatkan beliau untuk memikirkan kebahagiaan kita dan malam hari dilewatkan beliau dengan berjaga-jaga demi kepentingan kita sehingga kedua belah kaki beliau membengkak karena berdiri lama (sembahyang tahajud, Peny).Walaupun beliau pribadi tak berdosa, beliau demikian rupa meratap-tangis sehingga tempat sujud beliau basah kuyup, semata-mata demi menghapuskan dosa-dosa kita dan menyelamatkan kita dari azab. Demikian besar kesedihan beliau demi kita sehingga gemuruh suara dada beliau lebih nyaring dari suara gelagak air di periuk tengah mendidih.
Beliau telah menarik kasih sayang Tuhan untuk kita dan telah menyerap keridhaan-Nya bagi kita, dan telah menyelimutkan cadar karunia-Nya kepada kita, dan meletakkan jubah rahmat-Nya di atas pundak kita, dan mencarikan jalan menuju pertemuan dengan Dia bagi kita, dan beliau telah memohon untuk kita agar ditunjukkan cara memanunggalkan diri dengan Dia, dan bagi kita beliau telah menyediakan segala kemudahan yang tidak pernah seorang nabi pun menyediakan bagi umatnya.
Kiranya bagi kami lebih sedap digelari kafir daripada kami menyamakan derajat Almasih dengan Tuhan Yang menciptakan kita, Yang memelihara kita, Yang menganugerahkan kehidupan kepada kita, Yang melindungi kita. Yang memberi rezeki kepada kita, Yang memberi ilmu kepada kita, dan Yang menganugerahkan petunjuk kepada kita.
Kita bayangkan. seperti halnya Dia hidup di atas langit tanpa makan minum, Almasih pun tanpa memenuhi sarana hidup manusiawi tinggal hidup di atas langit. Kami menghormati Almasih a.s. hanya karena beliau adalah nabi dari Tuhan kami. Kami mencintai beliau hanya karena beliau cinta kepada Allah dan Tuhan mencintai beliau. Segala hubungan kita dengan beliau membenalu lalu betapa mungkin kami menghina” Tuhan kami demi beliau dan melupakan kebajikan-kebajikan-Nya, dan membantu padri-padri Kristen yang memusuhi Islam dan Alquran, dan memberi kesempatan kepada mereka untuk berkata, “Lihatlah, bukankah dia yang hidup di atas langit itu Tuhan? Seandainya ia manusia, mengapakah ia tidak mati seperti manusia lain? Betapa kami harus menyerang dengan mulut kami terhadap Ketauhidan Tuhan, dan betapa kami dapat mengampak agama-Nya dengan tangan kami sendiri. Biarlah para ulama dan para kiai masa kini mengatakan sesuka hati mereka terhadap kami dan berbuat sesuka hati mereka serta menyuruh orang lain berbuat terhadap kami, baik kami digantung maupun dilempari batu hingga mati (dirajam), kami tidak dapat meninggalkan Tuhan demi Almasih. Kami memandang maut seribu derajat lebih baik daripada saat ketika kami harus menyatakan dengan mulut kalimat kufur, yakni, di samping Tuhan kami ia pun tinggal hidup dan karena orang-orang Kristen menyebut beliau anak Allah, mereka menghina Tuhan Yang Maha Berdiri Sendiri. Andai kata kami tidak memiliki ilmu, boleh jadi kami dapat menyatakan hal serupa itu. Akan tetapi ketika utusan Tuhan telah membuka mata kami dan membuat nyata kepada kami martabat keesaan -Nya, kegagahan-Nya, keagungan-Nya, kebesaran-Nya, dan kekuasaan-Nya, maka apapun yang akan terjadi, kami tidak dapat memilih seorang manusia dengan meninggalkan Allah Taala. Apabila kami berbuat demikian, .kami tidak tahu di mana tempat kami berpijak, sebab segala kehormatan, segala derajat adalah datang dari Dia. Jika nampak dengan jelas kepada kita bahwa dengan hidupnya Almasih merupakan penghinaan bagi Tuhan kami, maka betapa kami dapat mengakui kebenaran akidah itu, dan kendati pun hal itu ada di luar jangkauan otak kami bahwa dengan mengakui Almasih telah wafat menjadi kehinaan untuk beliau. Apabila para nabi yang lebih tinggi derajatnya dari beliau telah wafat dan tidak menjadi suatu kehinaan bagi mereka, maka dengan wafatnya Almasih a.s. betapa akan merupakan penghinaan terhadap beliau. Akan tetapi kami berkata, apabila pada suatu waktu tidak ada pilihan lain bagi kami kecuali harus memilih antara menghina Tuhan atau menghina Almasih a.s., maka kami dengan senang hati akan menerima kepercayaan yang dengan kepercayaan itu merupakan penghinaan terhadap diri Almasih a.s.
Akan tetapi kami Sekali-kali tidak akan menerima sesuatu yang merupakan penghinaan terhadap Allah Taala. Dan kami berkeyakinan bahwa Almasih a.s. pun yang adalah termasuk orang-orang yang cinta kepada Tuhan tidak akan sudi kalau kehormatan beliau terpelihara tetapi Ketauhidan Allah Taala tercedera.

“Almasih sekali-kali tidak akan merasa hina menjadi hamba bagi Allah, dan tidak pula malaikat-malaikat yang karib kepada-Nya” (4:173).
Kemanakah akan kami bawa firman Allah Taala ini? Dalam pada itu kami membaca dengan mulut kami sendiri ayat berikut,

'Dan aku senatiasa menjadi penjaga atas mereka selama aku berada di antara mereka; akan tetapi setelah Engkau wafatkan aku, maka Engkaulah Yang menjadi Pengawas mereka dan Engkau menjadi saksi atas segala sesuatu' (5:118).
Di dalam ayat itu Allah Taala Sendiri menerangkan ungkapan Almasih a.s. bahwa orang-orang Kristen sesat sepeninggal beliau, sedang tatkala beliau masih hidup, mereka tetap berpegang pada agama benar. Dalam pada itu, betapa kita dapat mengatakan bahwa Almasih masih hidup di langit kalau Allah Taala berfirman.

'Hai Isa, sesungguhnya Aku akan mematikan engkau secara biasa dan akan meninggikan derajat engkau di sisiKu dan akan membersihkan engkau dari tuduhan orang-orang yang ingkar dan akan menjadikan orang-orang yang mengikuti engkau di atas orang-orang yang ingkar, hingga Hari Kiamat'( 3:56).
Dengan demikian jelaslah bahwa Almasih diangkat setelah beliau wafat. Tiada syak lagi, orang yang mengaku lebih fasih bahasanya dari pada Tuhan biar mengatakan, bahwa Dia (Allah Taala) memberitahukan wafat Almasih dengan kata insert lebih dahulu, padahal seyogyanya kata insert harus didahulukan. Akan tetapi kami mengetahui bahwa Kalam Allah adalah paling fasih dari segala Kalam, dan bersih dari segala kesalahan.
Betapa mungkin kita sebagai makhluk dapat menunjukkan kesalahan Alkhalik, Sang Pencipta kita. Sementara di dalam keadaan tuna ilmu betapa mungkin memberi pelajaran kepada Yang Maha Mengetahui.
Mereka berkata kepada kami, “Katakanlah, di dalam Kalam Allah terdapat kesalahan. Akan tetapi janganlah mengatakan bahwa kami sendiri keliru di dalam memahami Kalam Allah itu.” Akan tetapi, betapa kami dapat menerima nasihat itu, karena di dalam nasihat itu nampak kepada kami kebinasaan yang nyata. Dalam keadaan kami memiliki mata, bagaimanakah mungkin kami ingin jatuh ke dalam jurang? Dalam keadaan kami memiliki tangan, mengapakah kami tidak akan menyingkirkan dari mulut kami piala berisikan racun?
Sesudah kepada Allah Taala, kami mencintai Sang Khatamul Anbiya Muhammad Mustafa saw. Pada satu pihak beliau diberi kelebihan derajat oleh Allah Taala daripada sekalian nabi, dan pada pihak lain dari beliaulah kami dapati apa jua pun yang kami peroleh. Apa pun yang beliau mengerjakan bagi kami, seperseratusnya pun tidak pernah dikenakan oleh seseorang lain, baik ia nabi atau pun bukan nabi untuk kami. Kami tidak dapat menghormati orang lain biar siapa pun, lebih dan hormat kami terhadap beliau saw.
Bagi kami tidaklah mungkin dapat memahami Hadhrat Almasih a.s. dinaikkan hidup-hidup ke langit, sedangkan Muhammad Rasulullah saw. dikubur di dalam tanah; bersamaan dengan itu pula berkeyakinan bahwa beliau saw. lebih mulia dari Almasih a.s. juga. Betapa mungkin orang yang oleh Allah Taala diangkat ke langit karena nampak sedikit saja bahaya mengancamnya, jadi lebih rendah derajatnya. Sedangkan pribadi Yang diburu-buru oleh musuh-musuhnya sampai jauh, Allah Taala tidak pernah mengangkatnya ke suatu bintang pun untuk meninggikan derajatnya. Andai kata benar-benar Almasih a.s. berada di langit dan Penghulu dan Majikan kita itu terkubur di dalam tanah, maka bagi kami tidak ada kematian yang lebih pedih daripada kenyataan itu. Kami tidak dapat memperlihatkan muka pun kepada orang-orang Kristen.
Namun tidak, tidaklah demikian halnya! Allah Taala tidak mungkin memperlakukan rasul-Nya yang suci secara demikian. Dia Hakim di atas segala hakim. Betapa mungkin Dia pun mengangkat beliau saw. sebagai Penghulu segala anak-cucu Adam, lalu Dia lebih cinta kepada Almasih a.s. dan lebih memperhatikan kesulitan-kesulitannya.
Guna menegakkan kehormatan Muhammad Rasulullah saw. Dia menjungkir-balikkan dunia, dan Dia menghinakan orang yang berniat menghina beliau saw. sedikit saja, apakah ketika itu mungkin kiranya Dia dengan tangan-Nya Sendiri menjatuhkan kebesaran beliau dan memberi peluang kepada musuh untuk mencela beliau? Bila kami membayangkan bahwa Muhammad Rasulullah saw. berkubur di dalam tanah dan Hadhrat Almasih a.s. hidup di langit, bulu kuduk kami jadi berdiri dan nafas kami jadi sesak, dan pada saat itu juga hati kami berseru, Allah Taala tidak mungkin berbuat demikian! Di antara segala wujud, Muhammad Rasulullah saw lah yang paling dicintai-Nya. Dia sekali-kali tidak akan sudi melihat beliau saw. wafat dan dikubur di dalam tanah, sedang Hadhrat Almasih a.s. masih tetap hidup di langit. Apabila seseorang berhak tetap hidup dan naik ke langit, maka seyogyanya orang itu Nabi mulia kita Muhammad saw. Jika beliau telah wafat, maka semua nabi pun telah wafat. Mengingat keluhuran dan ketinggian derajat beliau dan mengenal kedudukan beliau. betapa kami dapat menerima bahwa pada saat hijrah ketika beliau dengan susah payah menapakkan kaki beliau di atas pundak Sayyidina Abubakar r.a. untuk memanjati batu-batu padas Gunung Thur yang terjal, Allah Taala tak pernah menurunkan seorang malaikat pun untuk beliau. Akan tetapi ketika orang-orang Yahudi datang untuk menangkap Almasih a. s. segera Dia mengangkat beliau ke langit dan memberikan tempat kepada beliau di petala langit keempat. Demikian pula betapa kami dapat mempercayai bahwa, ketika di dalam Perang Uhud beliau hanya disertai beberapa sahabat terkepung oleh musuh, pada saat itu Allah Taala tidak mengangkat beliau s.a.w. barang sebentar saja ke langit dan mengubah rupa salah seorang musuh seperti rupa beliau dan disuruh mematahkan giginya. Malahan Dia mengizinkan musuh-musuh menyerang beliau sehingga beliau tidak sadarkan diri dan tergeletak di atas tanah bagaikan telah wafat, dan musuh berserak-sorai gembira dan berseru, 'Kita sudah membunuh Muhammad!' Akan tetapi berkenaan dengan Almasih a.s, Dia tidak suka kalau beliau mendapat suatu kesulitan. Baru saja orang-orang Yahudi hendak menyerang beliau, Dia mengangkat beliau ke langit lalu salah seorang musuh beliau diganti rupanya hingga menyerupai rupa beliau dan menggantikan beliau untuk digantung di atas salib.
Kami heran apa yang terjadi pada orang-orang itu! Pada satu pihak mereka mengaku cinta kepada Rasulullah saw., dan pada pihak lain mereka menyerang kehormatan beliau saw; dan tidak hanya hingga di situ, bahkan orang-orang yang saking cintanya kepada beliau saw. menolak untuk menjunjung tinggi seseorang lebih dari beliau. Mereka itu diberi kesusahan dan dinyatakan kafir karena perbuatan mereka itu. Apakah istilah kafir itu dikenakan kepada perbuatan menegakkan kehormatan Muhammad Rasulullah saw? Adakah menyatakan derajat beliau yang sebenarnyakah yang disebut tidak beragama? Adakah cinta kepada beliau itukah yang disebut murtad? Jika itulah yang dinamakan kufur, jika yang demikian itulah yang disebut tak beragama, dan jika yang demikian itulah yang disebut murtad, maka demi Allah, kami menganggap seribu kali lebih baik kekafiran yang demikian itu ketimbang keimanan yang dihayati kebanyakan orang. Lebih baik ketidakberagamaan semacam inilah ketimbang keberagamaan kebanyakan orang. Dan lebih baik kemurtadan semacam inilah ketimbang pengakuan iman kebanyakan orang. Tanpa takut dari celaan orang kami akan menyuarakan satu suara dengan pemimpin kami Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Masih Mau'ud a.s. dalam mengumandangkan:

“Setelah asyik dan cinta kepada Tuhan Aku
Aku mabuk cinta kepada Muhammad
Jika inilah yang disebut kufur
Maka demi Allah aku ini memang sangat kafir” (Peny).
Pada akhirnya semua orang pada suatu hari akan mati dan menghadap ke hadirat Allah Taala serta akan berurusan dengan Dia. Lalu, mengapakah kami harus takut kepada orang-orang? Apakah yang dapat dilakukan orang-orang untuk memudaratkan kami? Kami hanya takut kepada Allah dan kepada-Nyalah kami cinta. Sesudah itu, kecintaan dan penghormatan paling besar yang bermukim di dalam lubuk hati kami adalah kepada Rasulullah saw. Mudahlah bagi kami melepaskan segala kehormatan dunia, segala perhubungan dengan dunia, dan segala kesenangan dunia, akan tetapi kami tidak dapat menahan diri jika pribadi beliau saw. dihinakan. Kami tidak menghinakan para nabi lain, namun dengan memandang quat qudsiah (daya pengkudusan) beliau, ilmu beliau, kearifan beliau, perhubungan beliau dengan Tuhan, sekali kali kami tidak dapat menerima bahwa Allah Taala lebih sayang kepada salah seorang nabi lain ketimbang kepada beliau saw. Seandainya kami berbuat demikian tidak ada orang yang lebih layak dihukum selain kami. Sementara kami memiliki sepasang mata, betapa kami dapat mempercayai hal demikian bahwa ketika orang-orang Arab mengatakan kepada Rasulullah saw. :

“Tidak akan Sekali-kali kami percaya kepada engkau sebelum engkau naik ke langit, dan kami tidak akan meyakmi kenaikan engkau itu sebelum engkau membawa kliab dan langit yang dapat kami baca' (17:93).
Maka Allah Taala berfirman kepada beliau,

“Katakanlah, Tuhanku Mahasuci dan segala kelemahan. Aku hanya lah seorang manusia yang menjadi rasul' (17:93).
Akan tetapi, Dia telah mengangkat Almasih a.s. ke langit. Apabila timbul masalah mengenai Muhammad Rasulullah saw., maka dikatakan bahwa kenaikan ke langit adalah bertentangan dengan sifat manusia. Namun apabila timbul masalah mengenai Almasih a.s., maka tanpa guna beliau dinaikkan ke langit. Apakah dengan demikian tidak akan sampai kepada kesimpulan, bahwa Almasih a.s. bukanlah seorang manusia melainkan Tuhan, naudzu billah min dzalika! Atau, kesimpulan lainnya lagi ialah, beliau lebih mulia daripada Rasulullah saw. dan Allah Taala lebih sayang kepada beliau. Akan tetapi ketika hal itu nampak jelas seperti terang benderangnya matahari bahwa Rasulullah saw. termulia dari segala rasul dan segala nabi, lalu betapa akal dapat mempercayai beliau saw. memang tidak naik ke langit, bahkan beliau wafat di atas bumi ini dan dikubur di bawah tanah; namun Almasih naik ke langit dan terus hidup hingga ribuan tahun. Lagi pula masalah ini bukanlah hanya menyangkut masalah ghairat belaka, bahkan pula menyangkut masalah kebenaran Rasulullah saw. Beliau saw. bersabda,
“Seandainya Musa dan Isa masih hidup, tidak boleh tidak kedua-dua beliau harus mengikutiku” (Alyawaqitu wal jawahir, oleh Imam Abdul Wahab al Syi'rani r. a. ).
Apabila Isa a.s. masih hidup, maka ucapan beliau ini menjadi batal, naudzubiliah! Sebab, beliau dengan mengatakan insert mengabarkan tentang wafatnya kedua nabi itu, karena Musa a.s. dan Isa a.s. disatukan. Walhasil setelah memperoleh kesaksian dari Nabi saw., betapa seorang yang mengaku menjadi umat beliau dapat meyakini, bahwa Hazrat Almasih a.s. masih hidup. Seandainya beliau masih hidup, maka kebenaran dan ilmu Rasulullah saw. akan ternoda, karena beliau saw. sendiri mengatakan Nabi Isa a.s. telah wafat.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw. juga, bahwa beliau bersabda kepada Siti Fatimah r.a. tatkala beliau dalam keadaan sakit yang membawa wafat kepada beliau,

“Jibrail biasa membacakan Alquran kepadaku sekali setahun. Akan tetapi kali ini ia telah membacakan dua kali Ia mengabarkan kepadaku bahwa tidak ada seorang nabi pun berlalu yang umurnya tidak seperdua umur nabi sebelumnya. ia pan mengabarkan pula kepadaku bahwa Isa O.S. berusia seratus duapuluh tahun. Jadi, kukira umurku akan mencapai kurang lebih enampuluh tahun” '(Mawahib-ud-dunia oleh Qastalani, jilid l, hlm. 42).
Keterangan di dalam. riwayat itu bersumber pada ilham, sebab di dalam riwayat itu Rasulullah saw. tidak menerangkan sesuatu dari diri beliau pribadi, melainkan beliau menerangkan apa yang diterangkan oleh Jibril a.s. ; yaitu, usia Almasih a.s. seratus duapuluh tahun. Pendeknya, pendapat orang-orang yang menyatakan bahwa Almasih a.s. di dalam usia beliau yang ke32 atau ke33 tahun telah diangkat ke langit adalah salah. Sebab, andai kata Almasih a.s. telah diangkat ke langit di dalam usia itu, maka usia beliau bukanlah seratus duapuluh tahun, melainkan usia beliau sampai masa Rasulullah saw. Mendekati enam ratus tahun. Di dalam keadaan seperti itu seharusnya usia Rasulullah saw. mencapai paling kurang tiga ratus tahun. Akan tetapi beliau saw. wafat dalam usia 63 tahun; dan melalui ilham diberitahukan kepada beliau bahwa Hadhrat Isa a.s. telah wafat pada usia 120 tahun. Hal demikian jelas membuktikan bahwa kehidupan Hadhrat Isa a.s. dan bermukim beliau di atas langit sama sekali bertentangan dengan ajar an Rasulullah saw., lagi hal itu disangkal oleh ilham beliau. Dan bila demikianlah peristiwa sebenarnya, lalu betapa kami dapat mempercayai keterangan mengenai hidup Hadhrat Almasih a.s. dari penuturan seseorang dan mengesampingkan ungkapan Rasulullah saw.
Dikatakan bahwa apakah masalah itu di dalam jangka waktu seribu tigaratus tahun terbuka hanya kepada mereka (orang-orang) Ahmadi, dan tidak dimaklumi oleh orang-orang arif terdahulu? Akan tetapi sayang, orang-orang yang mencela itu membatasi pemandangan mereka pada pikiran orang-orang tertentu saja, yang mereka namakan ijmak dan mereka tidak memperhatikan bahwa ulama-ulama paling Awal adalah para sahabat sendiri. Sesudah beliau datang pula tokoh-tokoh alim ulama yang tersebar di seluruh dunia.
Jika kita memperhatikan para sahabat, maka beliau-beliau itu semuanya senafas dengan pendapat kami. Dan bagaimanakah dapat terjadi, bahwa para sahabat Rasulullah saw. sedetik pun dapat menerima kepercayaan yang merendahkan keluhuran martabat Rasulullah saw. Para sahabat tidak hanya sependapat dengan kami mengenai masalah itu, bahkan sesudah Rasulullah saw. wafat pun beliau-beliulah yang pertama-tama berijmak dalam masalah ini, bahwa Hadhrat Isa a.s. telah wafat. Buktinya, di dalam hadis-hadis dan sejarah tercantum riwayat bahwa wafat Rasulullah saw. telah memberi kesan mendalam pada para sahabat demikian rupa sehingga mereka tergoncang dan sebagian di antaranya bicara pun tidak dapat, dan sebagian di antaranya lagi berjalan pun tidak dapat, dan sebagian pula tidak dapat menguasai perasaan dan pikiran mereka. Kesedihan itu diartikan rupa berbekas di hati sebagian orang sehingga beberapa di antaranya setelah bersusah hati beberapa hari lamanya lantas meninggal dunia. Kesedihan itu menimpa Hadhrat Umar r.a. demikian mendalam bekasnya sehingga beliau tidak mempercayai berita wafat Nabi saw., dan seraya menghunus sebilah pedang berdiri dan berkata, barangsiapa mengatakan Rasulullah saw. telah wafat beliau akan membunuhnya. Rasulullah saw., seperti halnya Musa a.s. dahulu, dipanggil dan kembali lagi empatpuluh hari kemudian, demikian pula halnya Rasulullah saw. sesudah beberapa waktu kemudian akan kembali lagi. Barangsiapa menuduh Rasulullah saw. wafat mereka ada lah orang-orang munafik, dan beliau akan membunuh mereka dan beliau akan membunuh mereka dan menyalibkan mereka. Demikian pula beliau dengan meluap-luap bersikeras pada pendirian beliau, sehingga tiada seorang pun di antara para sahabat berani menyangkal perkataan beliau. Melihat gejolak semangat beliau itu beberapa orang menjadi yakin bahwa benarlah Rasulullah tidak wafat dan mulailah nampak pada wajah mereka tanda kegembiraan. Tadinya mereka menundukkan kepala, tiba tiba mereka mengangkat kepala lagi karena kegirangan. Melihat keadaan demikian, beberapa sahabat yang berpandangan jauh menyuruh seorang sahabat berlari supaya segera memangil Hadrat Abu bakar r.a. yang telah pergi ke suatu kampung di dekat kota Medinah dengan seizin Rasulullah saw. dalam selang waktu ketika nampak keadaan beliau agak membaik. Baru saja sahabat itu berangkat di pertengahan jalan bertemulah ia dengan Hadhrat Abubakar r.a. Begitu beliau melihat Hadhrat Abubakar, beliau mencucurkan air mata karena tidak kuasa menahan rasa sedih. Hadhrat Abubakar r.a. mengerti apa yang kiranya telah terjadi. Beliau bertanya kepada sahabat itu, “Apakah Rasulullah saw. telah wafat?” Sahabat itu menjawab bahwa Hadhrat Umar r.a. telah berkata, barangsiapa yang mengatakan Rasulullah saw. wafat, beliau akan mempancung lehernya dengan pedang. Mendengar ini beliau langsung pergi ke rumah Rasulullah saw., dan beliau membukakan kain cadar yang menutupi tubuh suci beliau dan melihatnya. Diketahui lah oleh beliau bahwa Rasulullah saw. benar-benar telah wafat. Air mata beliau berderai karena sedih berpisah dari kekasihnya. Beliau membungkukkan diri dan mengecup kening Rasulullah saw. seraya berkata, Demi Allah, Tuhan tidak akan mendatangkan maut dua kali kepada engkau. Dengan kemangkatan engkau, menimpalah kepada dunia malapetaka yang tidak pernah menimpa kepada dunia karena kemangkatan seorang nabi lain mana pun. Pribadi engkau tiada terlukiskan. Kebesaran engkau demikian keadaannya sehingga tiada ungkapan belasungkawa dapat mengurangi kesedihan perpisahan dengan engkau. Sekiranya untuk menghalangi kemangkatan engkau ada dalam di dalam jangkauan kemampuan kami, kami sekalian akan menghalangi kemangkatan engkau dengan menyerahkan jiwa raga kami.”
Setelah mengatakan demikian beliau menutup kembali kain ke atas wajah suci Rasulullah saw., dan pergi ke tempat Hadhrat Umar r.a. yang tengah berbincang dengan para sahabat serta mengatakan kepada mereka bahwa. Rasulullah saw. tidak wafat, bahkan masih hidup. Sesampainya di sana Hadhrat Abubakar r.a. berkata kepada Hadhrat Umar r.a. agar diam sebentar. Akan tetapi Hadhrat Umar r.a. tidak mengindahkan perkataan beliau dan terus jua mengoceh. Melihat gelagat demikian Hadhrat Abu bakar berpaling ke arah lain dan mulai berkata kepada orang-orang, se sungguhnya Rasulullah telah wafat. Para sahabat meninggalkan Hadhrat Umar r.a. dan berkumpul di sekeliling Hadhrat Abubakar dan pada akhir nya Hadhrat Umar r.a. pun terpaksa menyimak perkataan Hadhrat Abu bakar r.a..

“Dan Muhammad tidak lam melainkan seorang Rasul Sesungguhnya telah berlalu rasul-rasul sebelumnya. Jadi jika ia mati atau terbunuh akan berpalingkah kamu atas tumitmu?” (3:145).

“Sesungguhnya wahai Muhammad engkau akan mati dan sesungguh nya mereka itu akan mati pula” (39:31).

“Hai manusia, barangsiapa menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad itu sudah wafat; dan barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu hidup dan tidak akan mati” (Bukhari, jilid 2, Bab Manaqib Abubakar).
Tatkala beliau r.a. membaca ayat-ayat tersebut di atas dan mene rangkan kepada orang-orang bahwa Rasulullah saw. telah wafat, maka jadi jelaslah kepada para sahabat keadaan sebenarnya dan serta merta mereka mulai meratap. Hadhrat Umar r.a. sendiri berkata, ketika Hadhrat Abubakar r.a. membuktikan kemangkatan Rasulullah saw. Dengan ayat-ayat Alquran tersebut, maka beliau merasa bahwa kedua ayat itu seolah-olah baru turun pada hari itu, dan tiada kekuatan pada kedua lutut beliau untuk berdiri. Kaki beliau gemetar dan beliau tidak menguasai diri lalu terkulai ke tanah dari kesedihan yang amat sangat.
Dari riwayat ini tiga masalah telah terbukti: Pertama, ialah, dengan wafatnya Rasulullah saw. ijmak (kesesuaian pendapat) para sahabat pertama-tama cenderung kepada pendapat bahwa para nabi sebelum beliau saw. semuanya telah wafat. Sebab, seandainya siapa pun di antara sahabat-sahabat mempunyai keraguan bahwa ada beberapa nabi belum wafat, tidakkah pada waktu itu juga beberapa di antara mereka akan berdiri dan mengatakan bahwa ayat-ayat yang dipakai dalih oleh Hadhrat Abubakar r.a. itu tidak benar? Sebab Nabi Isa a.s. semenjak enam ratus tahun yang lalu masih hidup di langit; jadi, tidaklah benar kalau sekalian nabi sebelum beliau saw. telah wafat dan seandainya beberapa di antara mereka masih hidup, apakah sebabnya Rasulullah saw. pun tidak . tetap hidup?
Kedua, ialah, kepercayaan mereka terhadap kemangkatan sekalian nabi terdahulu tidak disebabkan oleh suatu pendapat pribadi, melainkan oleh karena mereka menarik pengertian dan ayat-ayat Alquranul Karim. Sebab, seandainya tidak demikian, maka salah seorang sahabat pasti akan berdiri dan berkata bahwa walaupun hal itu benar para nabi telah wafat namun ayat yang dibaca beliau (Hadhrat Abubakar r.a.) tidak dapat disimpulkan bahwa sekalian nabi sebelum Rasulullah saw. telah wafat.
Pendek kata, pembuktian Hadhrat Abubakar Siddiq r.a. mengenai kemangkatan seluruh nabi terdahulu sebelum beliau saw. dengan ayat

dan bukan hanya diamnya para sahabat semuanya bahkan mereka menikmati kelezatan menimba arti dan (ayat) itu, dan lalu lalangnya para sahabat di lorong-lorong dan pasar-pasar membaca ayat itu membuktikan bahwa mereka semuanya sepakat dengan kesimpulan semacam itu.
Ketiga, ialah, dan riwayat itu terbukti bahwa walaupun mereka (para sahabat, Peny.) percaya atau pun tidak atas kemangkatan salah seorang nabi lain, namun demikian pasti mereka tidak mengetahui ten tang Nabi Isa a.s. masih hidup. Sebab, sebagai telah terbukti dari semua hadis yang sahih dan riwayat-riwayat yang terpercaya, Hadhrat Umar r.a. pada waktu itu ada di dalam keadaan emosi, mengatakan kepada para sahabat lainnya bahwa barangsiapa mengatakan Rasulullah saw. wafat beliau akan memenggal lehernya. Pada waktu itu, untuk membuktikan kebenaran pendapat beliau, dikemukakan beliau peristiwa kepergian Hadhrat Musa a.s. selama empatpuluh hari ke gunung. Akan tetapi beliau sekali pun tidaklah mengemukakan peristiwa kepergian Nabi Isa a.s. ke langit. Seandainya para sahabat berkepercayaan bahwa Nabi Isa a.s. masih hidup di atas langit, apakah sebabnya Hadhrat Umar r.a. atau para sahabat yang sependapat dengan beliau tidak mengemukakan peristiwa itu untuk menguatkan pendapat beliau-beliau? Adanya kenyataan mereka menarik kesimpulan dari peristiwa Nabi Musa a.s. dan mereka tidak menarik kesimpulan dari peristiwa Nabi Isa a.s. itu menjadi jelaslah kiranya bahwa di dalam pikiran mereka Sekali-kali tidak ada gagasan semacam itu mengenai peristiwa Nabi Isa a.s.(DA'WATUL AMIR,bagian 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar