JAWABAN ATAS KEBERATAN SYIAH
TERHADAP KEBERADAAN TIGA KHALIFAH RASYIDAH
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Rasulullah saw.pernah menubuwatkan : "Kenabian akan tetap berada di antaramu selama Tuhan menghendaki. Dia akan mengakhirinya dan meneruskannya dengan khilafat menurut tata cara kenabian selama Dia menghendaki dan kemudian akan mengakhirinya. Kemudian akan menyusul suatu kerajaan yang penuh sengketa dan akan berlaku sepanjang yang dikehendaki oleh Tuhan dan kemudian berakhir. Kemudian akan terwujud kerajaan zalim yang akan berlangsung selama dikehendaki oleh Tuhan dan berakhir menurut perintah-Nya. Kemudian akan muncul khilafat menurut cara kenabian ... Rasulullah saw. kemudian diam" (Musnad Ahmad, dikutip oleh Misykat di dalam Babul Inzar wa Tahzir).
Dari nubuatan Rasulullah saw. di atas jelas dapat disimpulkan bahwa sesudah beliau wafat, akan terwujud Khilafat yang akan terdiri atas dua masa: yang pertama akan datang sesaat sesudah beliau wafat, dan yang kedua terwujud setelah didahului oleh rentangan masa pemerintahan-pemerintahan kerajaan yang menindas, menekan, dan zalim. Rasulullah saw. menentukan pula masa yang pertama itu. Safina r.a. meriwayatkan bahwa beliau mendengar Rasulullah saw. bersabda,
"Khilafat akan bernaung selama 30 tahun dan kemudian akan timbul kerajaan" (Misykat, Kitabul Fitn).
Demikianlah telah terjadi dengan khalifahnya yang pertama adalah Hazrat Abu Bakar, yang kedua adalah Hazrat Umar bin Khattab, yang ketiga Hazrat Utsman bin Affan, dan yang keempat adalah Hazrat Ali bin Abi Tahlib. Semuanya terpilih untuk memegang kedudukan mulia, dengan satu atau lain cara yang demokratis, dan jangka waktunya meliputi tiga puluh tahun, sebagaimana dinubuatkan oleh Rasulullah saw..
Akan tetapi cukup banyak saudara-saudara kita khususnya dari kalangan umat Islam sendiri yang belum memahami rahasia kekhalifahan ini. Bahkan yang sangat disayangkan, adanya perbedaan pemahaman mengenai Khalifah Rasyidah ini yang mengakibatkan timbulnya perselisihan dan pertentangan satu sama lain sehingga menimbulkan perpecahan diantara umat Islam sendiri. Sebagai contoh sebut saja golongan Syia’h dan Sunnah yang selalu berselisih faham mengenai kekhalifahan setelah wafatnya Rasulullah saw. Meskipun pada kenyataannya Tuhan telah menunjukkan pilihan-Nya dan seterusnya memperkuat persetujuan-Nya dengan memberi dukungan serta pertolongan kepada wujud pilihan-Nya dan Dia memperlihatkan berbagai mukjizat melalui wujud itu. Atas dasar ini, sekalipun seorang khalifah boleh jadi orangnya secara fisik lemah dan rapuh, namun ia tetap berhasil menunaikan tugas-tugasnya dengan gemilang. Semuanya itu adalah berkat rahmat, karunia dan dukungan dari Allah Ta’ala. Tak sulit memahami gejala itu, namun bagi mereka yang ingin mendapat keyakinan melalui keterangan-keterangan yang sebenarnya, kami hendak memberanikan diri mengutip ayat-ayat suci Alquran dengan tafsiran-tafsirannya yang otoritatif dari Rasulullah saw. dan para sahabat beliau, dan dari Mujadid kurun zaman ini, yakni, Hazrat Masih Mau’ud a.s.
Oleh karena itu, Jama’ah muslim Ahmadiyah yang mengemban misi “Yuhyiddiina Wayuqiimus Syarii’ah” mencoba memberikan penjelasan yang benar dalam urusan Khilāfah (kekhalifahan) ini.
B. TUJUAN
1. Mengetahui berbagai keberatan, kecaman, tuduhan dan Profokasi Kaum Syi’ah terhadap tiga Khalifah r.a.
2. Menepis Anggapan bahwa keberatan-keberatan yang dimunculkan kaum Syi’ah itu benar adanya.
3. Memberikan penjelasan yang benar untuk menanggapi berbagai kecaman, tuduhan dan profokasi kaum Syi’ah terhadap tiga Khalifah
C. TINJAUAN TEORITIS
1. Menurut Alqur’an
Allah SWT. Berfirman dalam Alqur’an, Surah An-Nur : 56
Artinya: ”Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan berbuat amal-amal yang saleh bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka Khalifah-Khalifah dimuka bumi ini, sebagaimana Dia telah menjadikan Khalifah-Khalifah dari antara orang-orang sebelum mereka, dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia akan memberi mereka keamanan dan kedamaian sebagai pengganti sesudah ketakutan mencekam mereka. Mereka akan menyembah-Ku, dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu dengan Daku. Dan barangsiapa inkar setelah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.(QS.An-Nur:56)[1]2. Menurut sabda Rasulullah saw.
تكون النبوت فيكم الى ما شاء الله ان تكون ثم يرفعها الله تعالى ثم تكون خلافة على من هاج النبوة ما شاء الله ان تكون ثم يرفعها الله تعالى ثم تكون ملكا عضا فتكون ما شاء الله ان تكون ثم يرفعها الله تعالى ثم تكون ملكا جبرية فيكون ما شاء الله ان يكون ثم يرفعهاالله تعالى ثم تكون خلافة على من هاج النبوة ثم سكت.
"Kenabian akan tetap berada di antaramu selama Tuhan menghendaki. Dia akan mengakhirinya dan meneruskannya dengan khilafat menurut tata cara kenabian selama Dia menghendaki dan kemudian akan mengakhirinya. Kemudian akan menyusul suatu kerajaan yang penuh sengketa dan akan berlaku sepanjang yang dikehendaki oleh Tuhan dan kemudian berakhir. Kemudian akan terwujud kerajaan zalim yang akan berlangsung selama dikehendaki oleh Tuhan dan berakhir menurut perintah-Nya. Kemudian akan muncul khilafat menurut cara kenabian ... Rasulullah saw. kemudian diam" (Musnad Ahmad, dikutip oleh Misykat di dalam Babul Inzar wa Thadhratir).
الخلافة بعدي في امتي ثلاثون سنة ثم ملك بعدذلك
Artinya ”Khilafat sesudahku dalam umatku selama tigapuluh tahun, kemudian kerajaan-kerajaan sesudah itu”. (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, At-Turmudzi, Abu Daud, An-Nasaa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shahihnya dari Safinah ra., dan Kanzul Umal, Juz VI/14961)
3. Menurut sabda Hazrat Masih Mau’ud a.s.
“…..penelitianku telah sampai kepada kedalaman hakikat, demikian juga Tuhanku telah memperlihatkan kepadaku bahwa sesungguhnya Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., Hadhrat Umar Al-Faruq r.a. dan Hadhrat Utsman r.a. mereka itu adalah orang-orang saleh lagi beriman. Dan adalah mereka itu termasuk kepada orang-orang yang diutamakan secara khusus oleh Allah Yang Maha pengasih dengan berbagai karunia-Nya. Banyak arif billah telah menjadi saksi akan keistimewaan-keistimewaan mereka itu.”[2]
II. KEBERATAN-KEBERATAN DARI SYIAH DAN JAWABANNYA
A. KECAMAN, TUDUHAN DAN PROVOKASI KAUM SYI’AH TERHADAP PARA SAHABAT R.A. ( Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., Hadhrat Umar Al-Faruq r.a.dan Hadhrat Utsman r.a.)
Bahkan mencerca para Sahabat dan menganggap mereka sebagai para penipu telah dianggap sebagai amal-amal terbaik dan ketinggian derajat, demikian juga halnya bahwa mengutuk para Sahabat Nabi saw dan berprarsangka buruk atas mereka dianggap sebagai kebaikan-kebaikan yang utama, kedekatan kepada Allah dan suatu jalan terdekat serta sarana-sarana keselamatan untuk hamba Allah. Mereka merasa gembira dengan cercaan dan tuduhan-tuduhan semacam itu. mereka adalah suatu kaum yang memusuhi para pembesar Shahabat Rasulullah saw. Mereka itu menyukai ghasyāwat (ketertutupan) dan istirābat (kebimbangan), dan segala tindakan mereka telah mendiskreditkan dan mengecam Hadhrat Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. serta mengelompokkan keduanya kepada kelompok orang-orang tercela.
Salah satu kepercayaan Syi’ah adalah bahwa Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. dan Hadhrat Umar Al-Faruq r.a. telah merampas hak dan menzalimi Hadhrat Ali Al-Murtadha r.a. dan Hadhrat Fatimah Az-Zahra r.a. Ulama-ulama Syiah berpendapat bahwa khilafah dari tiga khalifah sebelum Hadhrat Ali r.a. tidak ada dasar ketetapannya dari Al-Qur’an dan As-sunnah. Sedangkan khilafah (kekhalifahan) dari Sayyidina Ali Al-Murtadha r.a. banyak dasarnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah dengan dalil-dalil yang jelas dan nyata. Maka oleh karena itu pula tiga khalifah sebelumnya itu adalah khalifah-khalifah yang telah merampok dan menzalimi Sayyidina Ali ra serta tidak mendapat ketetapan dari Hadhrat Khātamin Nabiyyin dan Khairil Mursalin.
Jelas-jelas Allah Ta’ala dan rasul-Nya sudah menjelaskan posisi para sahabat yang merupakan pembawa panji-panji Islam dan merupakan penopang agama ini. Akan tetapi kalangan Syi’ah mengatakan : “Sesungguhnya para sahabat telah keluar dari agama-nya ‘murtad’ sepeninggal Nabi Saw. ..................”
Pendapat ini bisa dilihat dalam kitab yang ditulis oleh orang-orang Syi’ah, antara lain[3] :
a. Kitab Salim Ibnu Qais Al-‘Amiri hal. 92 cetakan Darul Funun
b. Raodhotul Kafi juz. 8 hal. 245
c. Hayatul Qulub oleh Al-Majlisi [4]Juz 2 hal. 640
Ayatullah Husein Al-Khorsani berkata “ kami Kaum syi’ah memandang sebagai satu kewajiban dan hal penting untuk menyatukan Islam dan meninggalkan segala hal yag bisa menimbulkan perpecahan dalam umat Islam.” Akan tetapi dalam halaman yang sama dia berkata : “Adapun alasan syi’ah melaknat Abu Bakar dan Umar dan para pengikutnya dikarenakan akan hanya mengikuti Rasulullah Saw. d !!! sesungguhnya mereka tidak diragukan lagi – mereka sudah tertolak dari Nabi dan dilaknat Allah.” (Dalam Islah ala Dhouit Tasyayu hal. 88.)[5]
Inilah pendapat kebanyakan orang Syi’ah dimana hal itu telah menjadi darah daging mereka dalam setiap pembicaraan mereka. mereka telah berani mengkafirkan tiga shahabat besar Yang Mulia Rasulullah saw. dan mengelompokkan mereka kepada kelompok orang-orang munafik dan murtad. Padahal Al-Qur’an tidak mungkin dapat menyelamatkan mereka kepada suatu era yang aman dan tentram jika kekuasaan ketika itu berada pada tangan orang-orang kafir.
B. TANGGAPAN (JAWABAN) ATAS BERBAGAI KECAMAN, TUDUHAN DAN PROVOKASI KAUM SYI’AH TERHADAP
1.
Sebelum menjelaskan lebih jauh lagi, baiknya difahami terlebih dahulu bahwa para Khalifah Rasyidah benar-benar dipilih oleh Allah Ta’ala, bukan berdasarkan keinginan perseorangan, juga bukan keinginan dari para sahabat yang kemudian terpilih menjadi Khalifah. Sangat jelas, baik Alqur’an sebagai sumber pegangan utama bagi umat Islam, maupun hadits serta pernyataan para sahabat r.a. mendukung statement tersebut.
a. SUMBER ALQURAN YANG MENERANGKAN TENTANG KHALIFAH BUKAN SEKEDAR PEMUNGUTAN SUARA APALAGI KEHENDAK PRIBADI
Artinya: ”Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan berbuat amal-amal yang saleh bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka Khalifah-Khalifah dimuka bumi ini, sebagaimana Dia telah menjadikan Khalifah-Khalifah dari antara orang-orang sebelum mereka, dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia akan memberi mereka keamanan dan kedamaian sebagai pengganti sesudah ketakutan mencekam mereka. Mereka akan menyembah-Ku, dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu dengan Daku. Dan barangsiapa inkar setelah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.(QS.An-Nur:56)[6]
Dari ayat-ayat yang ditukil di atas tampak bahwa Alquran menjelaskan pengangkatan khalifah-khalifah merupakan penerus-penerus seorang nabi. Pertama, merupakan "janji" dari Allah untuk menunjuk khalifah-khalifah; kedua, suatu kepastian (mustaqbil mu’akkad), dan ini diikuti oleh janji-janji yang meyakinkan untuk memberi kepada khalifah-khalifah kekuatan luar biasa, begitu pula janji-janji untuk mengubah keadaan tidak tertib menjadi tertib lagi damai.
Adanya "janji" dan "dukungan" Tuhan serupa itu, keliru-lah kalau mengambil pengertian dari kenyataan bahwa pengangkatan seorang khalifah itu semata-mata bergantung pada perhitungan suara semata. Dengan adanya pernyataan-peryataan Tuhan bertalian dengan pemilihan khalifah-khalifah oleh Dia demi penampakan Kekuasaan dan Kebesaran-Nya, maka tidaklah mungkin mengaitkan pengangkatan khalifah-khalifah itu kepada salah suatu sumber lain selain Allah. Masih Mau’ud a.s. menggambarkan khilafat Abu Bakar di dalam risalah beliau "Al-Wasiat" sebagai berikut.
"……. telah terjadi di waktu Hazrat Abu Bakar Siddiq r.a. ketika Rasulullah saw. wafat yang disangka orang tidak pada waktunya, dan banyak di antara orang-orang dusun bodoh balik murtad dan sahabat-sahabat r.a. pun karena terlampau sedihnya , hampir-hampir seperti gila rupanya; pada ketika itulah Allah Taala menegakkan Hazrat Abu Bakar Siddiq r.a. untuk memperlihatkan Kudrat-Nya kedua kali, dan Islam yang hampir-hampir akan tumbang itu ditopang-Nya kembali. Dan janji yang difirmankan-Nya itu ditepati-Nya, yaitu:
‘Pasti akan diteguhkan-Nya untuk mereka (orang-orang mukmin) agama mereka yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan pasti akan diganti-Nya kecemasan mereka dengan keamanan hati yang lega’ (24 : 56)."[7]
Jadi, sungguhpun para sahabat Rasulullah yang ber-kumpul untuk memilih Hazrat Abu Bakar sebagai khalifah mereka, pengangkatannya dianggap telah dilakukan oleh Tuhan, berdasarkan keterangan ayat Alquran tersebut di atas.
b. SUMBER KETERANGAN DARI RASULULLAH SAW.
Dari Rasulullah saw. pun kita memperoleh keterangan yang sama. Siti Aisyah r.a., salah seorang istri Rasulullah yang mengenainya Rasulullah saw. telah menganjurkan para pengikutnya untuk belajar separo ajaran Islam daripadanya, pernah meriwayakan sebagai berikut:
"Rasulullah saw. bersabda bahwa beliau pernah bermaksud memanggil Sayyidina Abu Bakar dan menyerahkan kepadanya tulisan mengenai kekhalifahannya, agar sesudah Rasulullah wafat, pendakwa-pendakwa lainnya yang berminat memangku jabatan itu tidak bangkit, tetapi kemudian Rasulullah mengurungkan gagasan itu karena yakin bahwa Tuhan tidak akan menerima pilihan yang jatuh pada orang lain selain Sayyidina Abu Bakar sebagai khalifah, juga orang-orang mukmin tidak akan menyetujui selain itu" (Bukhari, Kitabul Ahkam, Babul Istikhlaf)
Oleh karena itu jelas bahwa disebabkan oleh Rasulullah saw. yakin bahwa hal itu merupakan wewenang Tuhan sepenuhnya untuk menunjuk seorang khalifah, maka beliau mengurungkan niat membuat tulisan untuk mengangkat Hadhrat Abu Bakar memangku jabatan tersebut.Begitu pula Siti Hafsah, putri Hazrat Umar yang juga salah seorang istri Rasulullah saw., menurut riwayat pernah mengatakan:"Rasulullah saw. pada suatu ketika bersabda bahwa sesudah beliau Abu Bakar akan menjadi khalifah dan sesudah itu Umar akan menjadi khalifah. Saya bertanya bagaimana beliau mengetahui hal itu, lalu beliau menjawab bahwa Tuhan Yang Maha Mengetahui telah memberi tahu kepada beliau demikian" (Tafsir Qummi, Surah At - Tahrim).
Lebih lanjut diriwayatkan oleh Hazrat Utsman, khalifah ketiga, bahwa Rasulullah saw. pada suatu ketika mengatakan kepada beliau:
"Tuhan akan menganugerahkan jubah kepada engkau dan orang-orang munafik akan berupaya merebutnya dari engkau, tetapi engkau jangan sekali-kali berpisah daripada jubah itu" (Musnad Ahmad bin Hambal).
Rasulullah saw. telah menyampaikan kabar kepada Hazrat Utsman tentang beliau akan menjadi khalifah dan saat itu pula memperingatkan beliau mengenai timbulnya tuntutan-tuntutan sementara golongan supaya beliau meletakkan jabatan, lalu menganjurkan beliau agar tetap bersiteguh mempertahankan jabatan itu.Pada hemat Rasulullah saw. jabatan khilafat merupakan wewenang Tuhan dan karenanya jabatan itu mempunyai nilai kehor-matan serta kemuliaan.
c. PERNYATAAN
- PERNYATAAN HAZRAT ABU BAKAR
Hazrat Abu Bakar, khalifah pertama, juga mempunyai akidah serupa. Menurut riwayat beliau pernah mengatakan:"Tuhan telah mengangkatku menjadi khalifah di antara kamu supaya aku menggalang kesatuan persaudaraan di antara kamu dan menegakkan kelestarian iman."[8]
Hazrat Abu Bakar mengetahui benar bahwa setelah Rasulullah saw. wafat, orang-orang mukmin berkumpul dan secara bulat memilih beliau menjadi khalifah mereka, namun beliau mengatakan kepada mereka secara tandas bahwa pe-ngangkatan beliau memperoleh restu Tuhan sebagai tanda kasih-sayang Tuhan kepada mereka.
- PERNYATAAN HAZRAT UMAR
Hazrat Umar, khalifah kedua, mempunyai akidah yang serupa. Menurut riwayat beliau pernah mengatakan,"Barangsiapa memerlukan bantuan keuangan, hendaklah datang kepadaku, sebab Tuhan telah membuat diriku bendahara dan jurubayar" (Tarikh Umar bin Khattab, hlm. 87).
- PERNYATAAN HAZRAT UTSMAN
Khalifah ketiga, Hazrat Utsman, mempunyai akidah serupa pula. Menurut riwayat, beliau pernah berbicara di muka suatu majlis sebagai berikut:"Dan kemudian Tuhan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah, dan demi Allah aku tidak pernah mendurhakai beliau, juga tidak pernah menipu beliau" (Bukhari, Kitabul Hirat-ul-Hasya).
Tatkala kegilaan ulah kaum pendurhaka mencapai puncaknya dengan menuntut Hazrat Utsman meletakkan jabatan khilafat, beliau mengatakan kepada mereka secara tegas,"Aku tidak akan berpisah dari jubah khilafat yang telah dianugerahkan Tuhan Yang Mahakuasa kepadaku" (Tabari, jilid V, hlm. 121).
Seandainya Hazrat Utsman percaya bahwa jabatan khila-fat telah diraih beliau melalui pemungutan suara terbanyak, niscaya beliau akan rela menerima tuntutan golongan itu dan meletakkan jabatan atas perintah mereka. Tetapi beliau menolak meletakkan jabatan karena beliau merasa bahwa bila melakukannya berarti merupakan penghinaan terhadap kehormatan jabatan khilafat bila meninggalkannya, kecuali jika Allah menghendaki.
- PERNYATAAN HAZRAT ALI
Hazrat Ali, khalifah keempat, mempunyai akidah serupa, yaitu, sekalinya kaum muslimin telah memilih seseorang sebagai khalifah mereka, pengangkatannya dianggap telah direstui Tuhan. Beliau diriwayatkan pernah menulis kepada Amir Mu’awiyah:"Orang-orang yang telah bai’at kepadaku itu sama dengan mereka yang baiat kepada Hazrat Abu Bakar, dengan mempergunakan tata cara yang sama seperti sebelumnya. Mereka yang menjadi saksi atas pengangkatan itu tidak akan ada pilihan untuk menarik diri, dan mereka yang tidak hadir pada peristiwa itu tidak punya hak untuk menolak. Majlis pemungutan suara itu dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Anshar dan sekali mereka telah menyetujui pengangkatan seorang khalifah sebagai pemimpin mereka, pemungutan suara itu memperoleh meterai keridhaan dan restu Tuhan."[9]
d. PANDANGAN HADHRAT MASIH MAU’UD A.S.
Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang diutus oleh Tuhan sebagai mujaddid pada abad ini telah memberikan fatwa serupa, hal demikian mendukung kenyataan bahwa seorang khalifah diangkat oleh Tuhan. Menjawab pertanyaan mengapa Rasulullah saw. tidak menunjuk seorang khalifah di masa hidup beliau, Hazrat Masih Mau’ud a.s. berkata:"Alasannya ialah Rasulullah saw. mengetahui benar bahwa Tuhan akan mengangkat khalifah karena hal itu merupakan hak-istimewa Tuhan dan tak mungkin ada kekeliruan dalam pilihan Tuhan. Jadi, Dia mengangkat Hazrat Abu Bakar sebagai khalifah pertama sebagaimana Dia telah membuatnya mukmin yang pertama" (Al-Hakam, 14-4-1908).
Jelaslah, bahwa Al-Qur’an, Al-Hadits dan statement para sahabat yang terpilih menjadi Khalifah Rasyidah menunjukkan bahwa para Khalifah Rasyidah benar-benar dipilih oleh Allah Ta’ala, penentuannya bukan berdasarkan keinginan perseorangan / pribadi, terlebih lagi keinginan para sahabat yang kemudian mendapatkan kedudukan mulia sebagai khalifah.
2. Jawaban terhadap pendapat “tiga Khalifah sebelum Hadhrat Ali r.a. tidak berdasarkan Nash Sharih”
Ulama-ulama Syiah berpendapat bahwa khilafah dari tiga khalifah sebelum Hadhrat Ali r.a. tidak ada dasar ketetapannya dari Al-Qur’an dan As-sunnah. Sedangkan khilafah (kekhalifahan) dari Sayyidina Ali Al-Murtadha, Asadullah At-Tuqa ra banyak dasarnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah dengan dalil-dalil yang jelas dan nyata. Maka oleh karena itu pula tiga khalifah sebelumnya itu adalah khalifah-khalifah yang telah merampok dan menzalimi Sayyidina Ali ra serta tidak mendapat ketetapan dari Hadhrat Khātamin Nabiyyin dan Khairil Mursalin.
Sebagai jawaban atas pendapat mereka itu, bahwa sudah sangatlah jelas bagi orang-orang yang banyak berfikir, cerdas dan hamba-hamba Allah yang bertaqwa bahwa klaim tentang ketetapan khilafah Sayyidina Al-Murtadha langsung setelah Rasulullah Saw. adalah shalaf (penipuan) yang murni, yang tidak ada hubungannya dengan kejujuran dan kebenaran. Dan hal itu juga merupakan zūrah (kepalsuan) dan thaif (khayalan) yang tidak mempunyai bukti dari Kitab Tuhan Kita Yang Maha tinggi. Orang-orang syi’ah tidak mempunyai sandaran yang kuat untuk menetapkan klaim mereka itu.[10]
Adapun beberapa penjelasan kami di atas, sebenarnya sudah merupakan dalil dan dasar keterangan yang jelas bahwa ketiga Khalifah Rasyidah yang terpilih itu mendapatkan dukungan yang pasti dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Selanjutnya untuk penjelasan tambahan, kami akan mengutip sabda-sabda Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.. Imam Mahdi dan Masih Mau’ud a.s. yang telah memberikan penafsiran tentang ayat Alqur’an berkenaan dengan maslah Khilafat.
Ayat istikhlaf
Tidak ada dalil yang lebih tepat dan jitu dalam masalah kepemimpinan ummat selain ayat istikhlaf (pengangkatan khalifah oleh Allah Ta’ala). Ayat istikhlaf ini adalah ayat yang paling agung dan paling rasional untuk menghasilkan suatu nash hukum yang sangat jelas dari Tuhan semesta alam bagi setiap orang yang menghendaki untuk menghukumi masalah ini secara benar dan meyakinkan. Sesungguhnya ayat-ayat Al-Furqan itu begitu meyakinkan dan hukum-hukumnya pun bersifat qath’iyyah (pasti) sedangkan hadits-hadits dan atsar-atsar merupakan dalil yang bersifat zhaniyyah (dugaan) sedangkan hukumnya pun bersifat syakiyyah (tidak pasti), walaupun para periwayat hadits-hadits itu dari orang-orang tsiqah (kuat hafalan) dan cerdik.
Seandainya orang hanya melihat makna lahiriyah hadis-hadis dan tidak melihat kepada suatu perspektif makna yang dimaksudkannya tentunya akan banyak orang yang terjerumus ke dalam kegelapan karena tidak ada jaminan dengan perawi tsiqah dan cerdik saja seseorang akan terpelihara dari kekeliruan-kekeliruan. Hadits-hadits itu tidak mencukupi untuk menjadi dalil-dalil yang meyakinkan, bahkan hadits-hadits itu akan merupakan dalil-dalil cadangan saja yang ada kalanya bersifat dugaan-dugaan, klaim-klaim, khayalan-khayalan, dan bahkan kebohongan-kebohongan. Oleh karena itu hadits-hadits itu baru bisa kuat jika mendapat dukungan Al-Qur’an. Maka bagaimana mungkin hadits-hadits itu dapat dijadikan rujukan yang kokoh untuk mendapatkan berbagai kebenaran yang dalam tanpa dukungan Al-Qur’an? Sedangkan Al-Qur’an itu adalah referensi yang mengungguli segala referensi yang lain.
Allah Ta’ala telah berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُون
لا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مُعْجِزِينَ فِي الأرْضِ وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَلَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka khalifah (yang berkuasa) dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka menjadi khalifah, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.
“ Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
“Janganlah kamu kira bahwa orang-orang yang kafir itu dapat melemahkan (Allah dari mengazab mereka) di bumi ini, sedang tempat tinggal mereka (di akhirat) adalah neraka. dan sungguh Amat jeleklah tempat kembali itu. Q.S. (An-Nuur [24]:56-58)”[11]
Inilah apa yang sudah di kabar gembirakan oleh Tuhan kepada orang-orang yang beriman, Dia pun telah mengabarkan tentang tanda-tanda dari orang-orang yang akan dijadikan-Nya sebagai para khalifah itu. Maka barangsiapa yang mendatangi Allah untuk memohon kemurahan-Nya, tidak mengikuti jalan orang-orang yang tidak punya malu dan tidak mendukung orang-orang yang menyebarkan kepalsuan untuk menolong kebenaran, maka mesti orang itu dapat menerima dalil ini dan meninggalkan alasan dan pendapat-pendapat yang tidak benar dan ia dapat menikuti jalan orang-orang yang shalih.
Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai dalil tentang khilafah (kekhalifahan) Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. adalah Allah Ta’ala benar-benar telah berjanji di dalam ayat istikhlaf (pengangkatan khalifah oleh Allah Ta’ala), bahwa bagi orang-orang muslim laki-laki maupun perempuan bahwa Dia sendiri yang akan mengangkat khalifah bagi kepentingan mereka yang berasal dari kaum mukminin sebagai fadhl (karunia) dan kasih sayang-Nya. Dimana melalui pengangkatan seorang khalifah ini rasa takut yang menyelimuti kaum mukminin akan dirubah menjadi rasa aman. Kondisi yang digambarkan oleh ayat istikhlaf ini tidak kita dapati pembenaran dan relepansinya yang paling sempurna kecuali menunjuk kepada masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. karena pada masa kekhalifahan beliau inilah munculnya kondisi-kondisi ketidak amanan dan ketakutan serta cobaan-cobaan yang berat bagi kaum muslimin sepeninggal Yang Mulia Rasulullah saw. Demikian ini akan menjadi terang sekali bagi para pemerhati.[12]
3. Para Khalifah Sama-sekali Tidak Kafir, Munafik, apalagi Murtad dan Zhaalim, melainkan benar-benar merupakan orang-orang saleh
Hadhrat Abu Bakar r.a, Umar r.a. dan Utsman r.a. benar-benar termasuk orang-orang saleh.
Sejatinya para Shahabat r.a. adalah orang-orang yang telah banyak berbuat kebajikan, maka tidak seharusnya umat Islam berani menisbatkan keburukan-keburukan atas mereka karena sesungguhnya penisbatan semacam itu akan merupakan bahaya dan kehancuran yang sangat besar. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. di dalam bukunya Sirrul Khilafah, menjelaskan, “Hendaklah setiap pencaci itu menggunakan hati nurani dan fitrat-fitratnya. Sesungguhnya Allah telah menjadikan Hadhrat Abu Bakar dan Umar sebagai Asy-Syaikhain (dua pembesar ummat) dan yang ketiganya Hadhrat Utsman sebagai Dzūnūrain (yang menikahi dua puteri Rasulullah Saw.) dimana ketiga tokoh penting itu telah menjadi seperti halnya pintu-pintu gerbang untuk memasuki agama Islam dan menjadi sumber-sumber penyampaian ajaran Islam kepada setiap orang. Mereka telah disakiti sebagaimana para nabi telah disakiti, mereka telah dikutuk sebagaimana para nabi pun telah dikutuk, maka pantaslah mereka menjadi pewaris para nabi. Maka pada hari pembalasan, mereka berhak mendapatkan ganjaran sebagaimana para imam dan pemimpin agama terdahulu. Sesungguhnya seorang mukmin apabila dikutuk dan dikafirkan tanpa suatu dosa ataupun dicaci tanpa suatu alasan yang benar maka ia akan seperti halnya para nabi dan para wali, orang mukmin semacam itu akan diberi ganjaran seperti halnya para nabi dan para rasul. Tidak diragukan lagi bahwa Yang Mulia Abu Bakar, Umar, dan Utsman termasuk orang-orang yang mengikuti jejak langkah agung khairul anbiya (sebaik-baik para nabi) dan masuk kepada umatan wasathan (umat yang mulia) sebagaimana Dzat Yang Maha tinggi telah memuji mereka dan mendukung mereka dengan Jibril sebagaimana Dia telah mendukung setiap orang-orang yang menjadi pilihan-Nya.
Cahaya-cahaya kebenaran dan refleksi-refleksi kesucian mereka sungguh telah nampak jelas laksana sinar yang terang benderang sehingga jelaslah bahwa Hadhrat Abu Bakar, Umar, dan Utsman termasuk orang-orang yang benar. Allah Ta’ala berfirman mengenai mereka:
_ÅÌu ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ytã 4
“Allah ridha atas mereka dan mereka pun ridha pada-Nya”. (Q.S. Al-Mujaadilah: 23)[13] Dia telah mengaruniai mereka dengan karunia-karunia yang belum pernah diberikan kepada ummat sebelumnya. Apakah mereka itu termasuk orang-orang munafiq? Mustahil dan sekali-kali tidak, bahkan kebaikan-kebaikan mereka begitu nampak jelas dan dominan. Sungguh mereka itu orang-orang yang suci, tidak bernoda sebagaimana dikehendaki dan dicari-cari oleh musuh-musuh mereka. Allah sudah memasukkan mereka kepada kelompok magfurịn (orang-orang yang dapat ampunan Allah).” [14]
Kesaksian dan Sanjungan Al-Qur’an terhadap Hadrat Abu Bakar dan para Sahabat Lainnya
Al-Qur’an telah memuji dan menyanjung mereka dan memberi khabar suka bagi mereka bahwa:
¨br& öNçlm; ;M»¨Yy_ ÌøgrB `ÏB $ygÏFøtrB ã»yg÷RF{$# (
“Bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”. ( Q.S. Al-Baqarah [2]:25) [15]
Di tempat lain Al-Qur’an menyebutkan sesungguhnya mereka termasuk ash-hābul yamịn (ahli surga)[16], orang-orang yang masuk Islam pada periode pertama, orang-orang yang banyak kebaikannya dan orang-orang yang telah dirahmati dan diberkati Allah. Al-Qur’an memberi kesaksian bahwa mereka adalah orang-orang yang amal perbuatannya diterima oleh Allah Ta’ala. Tidak diragukan lagi, bahwa sesungguhnya para shahabat r.a. adalah suatu kaum yang telah mencurahkan segala kecintaan mereka untuk Islam, kecintaan yang dalam terhadap khairul anam (Yang Mulia Rasulullah Saw.) dan mereka telah menceburkan diri dalam akhthār (resiko-resiko) yang harus ditanggungnya untuk memperolah keridhaan-keridhaan Allah Yang Maha Mengetahui.
Al-Qur’an telah menjadi saksi, bahwasanya mereka (para shahabat r.a.) telah memulyakan penghulu mereka (Rasulullah Saw.), memulyakan Kitab Suci Al-Qur’an dan senantiasa berdiri dan sujud di hadapan Tuhan mereka. Maka alasan apa yang dapat mengalahkan kesaksian Al-Qur’an itu? Sedangkan adz-zhānn (dugaan) sama sekali tidak sama dengan al-yaqịn (yang bersifat pasti).
Hadhrat Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat yang lain adalah satu kaum yang telah menyerahkan nyawa mereka untuk menolong Rasulullah Saw. dan telah meninggalkan bapak-bapak dan anak-anak mereka karena Allah. Mereka telah menyerahkan jiwa dan raga mereka kepada Allah, walaupun demikian adanya merekapun banyak menangis dan menyesal karena merasa bahwa amal mereka masih sedikit. Mereka tidak mau memejamkan mata untuk beristirahat kecuali sedikit saja sekedar memberi hak kepada mata-mata mereka untuk beristirahat dan bukanlah mereka itu orang-orang yang mengejar-ngejar kesenangan dunia. Maka bagaimana mungkin kita bisa menyangka bahwa mereka telah berbuat dzalim, merampas hak dan tidak berlaku adil?
Yang pasti, bahwa mereka benar-benar telah terlepas dari keinginan pribadi mereka dan jatuh melebur dalam kecintaan terhadap Tuhan Yang Maha Agung, dan adalah mereka itu suatu kaum yang telah mencapai derajat fana fillah (melebur dalam kehendak Allah).
Jasa-jasa Hadhrat Abu Bakar Ash-shiddiq r.a. terhadap Islam
Ketika Yang Mulia Rasulullah Saw. wafat muncullah berbagai musibah yang menimpa Islam dan kaum Muslimin, yakni dengan adanya kemurtadan besar-besaran dan berkepanjangan dari orang-orang munafik serta munculnya para nabi palsu. Hampir seratus ribu penduduk Badiah yang bodoh dan pendosa telah berkumpul dan bergabung dengan nabi palsu Musailamah. Kelompok-kelompok nabi palsu itu bermaksud menimbulkan berbagai macam kekacauan dan malapetaka secara luas di kalangan kaum Mukminin. Ketika itu kaum Mukminin mendapat guncangan yang sangat hebat disebabkan gerakan para nabi palsu itu, setiap orang diuji dengan kondisi ini sehingga nampaklah kondisi-kondisi keimanan yang sebenarnya, yang sebelumnya tertutupi oleh kemunafikan.
Kaum Mukminin yang hatinya telah dipenuhi oleh semangat dan ghairat keimanan yang membara terpaksa merasakan kondisi yang begitu rupa, terkadang mereka menangis tatkala mereka melihat berbagai fitnah yang muncul bagaikan gulungan-gulungan api yang siap membakar. Dalam kondisi makin bertambahnya rasa takut pada hati kaum Mukminin, diangkatlah Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. sebagai hākimuz-zamān (penguasa zaman) dan Khalifah dari Yang Mulia Rasulullah saw.[17] Beliau r.a. merasa sedih dan menderita ketika menyaksikan sepak terjang orang-orang munafik, kafir dan murtad. Air mata beliau mengalir deras membasahi bumi seraya memohon kepada Allah untuk kebaikan Islam dan kaum Muslimin.
Dari Hadhrat Aisyah r.a., beliau berkata: “Ketika bapak saya diangkat menjadi khalifah dan Allah telah menyerahkan kepemimpinan ummat kepadanya, beliau r.a. telah melihat dengan pandangan istikhlaf yang murni tentang akan munculnya gelombang ujian dan ancaman dari berbagai penjuru, munculnya para nabi palsu dan serbuan orang-orang murtad dan munafiq. Berbagai musibah telah menimpa beliau ra sehingga kalau saja musibah-musibah itu menimpa gunung maka gunung itu akan hancur berantakan dibuatnya. Akan tetapi, dalam kondisi demikian Allah telah mengaruniai beliau r.a. kesabaran yang luar biasa seperti halnya kesabaran para nabi. Sehingga ketika pertolongan Allah telah datang, beliau r.a. telah berhasil memerangi para nabi palsu, menghancurkan orang-orang murtad dan menghilangkan ujian-ujian dan cobaan yang menimpa kaum Mulimin. Beliau ra telah memutuskan untuk benar-benar istiqamah dalam mengurus urusan khilafah, sehingga dengan demikian Allah telah menyelamatkan kaum Mukminin dari berbagai kelemahan, merubah rasa takut mereka dengan rasa aman, mengokohkan agama mereka, menegakkan era kebenaran dan membuat wajah orang-orang yang berbuat kerusakan bermuram durja”. [18]
Allah Ta’ala telah menyempurnakan janji-Nya dengan menolong Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a., menghancurkan thaghut-thaghut (sesuatu yang disembah selain Allah) dan menimbulkan rasa takut di kalangan orang-orang kafir sehingga mereka kalah dan kembali ke pangkuan khilafat dan bertaubat kepada Allah. Inilah kebenaran salah satu janji Allah SWT. Selanjutnya kita perhatikan bagaimana telah sempurnanya janji tentang khilafah ini dengan segala tindakan yang sangat diperlukan pada masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq r.a. Adapun pelajaran yang bisa kita ambil dari situasi dan kondisi kaum muslimin pada masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. ketika itu agama Islam benar-benar berada dalam bahaya yang sangat besar. Kemudian Allah telah mengembalikan kondisi yang demikian itu kepada kondisi semula, menumpas para nabi palsu serta memerangi orang-orang yang murtad dan memberontak. Allah telah memberikan keamanan kepada orang-orang yang beriman dan melepaskan mereka dari berbagai rasa takut sehingga mereka menjadi aman sentausa.
Orang-orang mukmin bersuka cita setelah hilang sirnanya malapetaka ini kemudian mereka mengucapkan selamat, menyambut dengan suka cita, memuji dan berdoa kepada Allah SWT. untuk kebaikan dan kesuksesan Khalifah (Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a). Seiring dengan kesuksesan beliau r.a. dalam menyelamatkan Islam dan kaum mukminin, dengan serta merta kaum muslimin menyatakan kemuliaan dan kecintaan terhadap Khalifah serta menyerahkan segala urusan mereka kepadanya seraya mengucapkan syukur kepada Allah.
Hadhrat Abu Bakar r.a. telah membebaskan kaum Muslimin dari rasa khawatir dan kesusahan mereka sehingga bertambahlah rasa cinta, ketaatan, kesungguhan dan mereka telah menganggap bahwa beliau ra sebagai seorang yang diberkati dan didukung oleh Tuhan seperti halnya para nabi. Ini semua merupakan bukti dari kebenaran, keyakinan yang begitu dalam dari Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a.
Beliau r.a. adalah Adam Ats-Tsāni (Adam yang kedua) bagi agama Islam dan mazhhar al-awwal (manifestasi yang pertama) yang berasal dari cahaya-cahaya Yang Mulia Muhammad Mushthafa, Sang Khairil Anaam saw. Walaupun Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. bukan seorang nabi akan tetapi beliau memiliki quwa al-mursalịn (kekuatan-kekuatan orang-orang yang diutus Tuhan). Dengan kebenaran beliau ra hadịqatul Islām (taman Islam) yang indah telah kembali kepada pendekorasiannya yang sempurna, keindahan dan kemolekan Islam pun telah beliau ra ambil kembali setelah melalui perjuangan yang pahit, menghancurkan orang-orang munafiq dan berbagai macam cobaan yang lainnya.[19]
Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. telah berhasil membersihkan Islam dari noda dan kesuraman yang timbul, dimana sebelum gerakan yang beliau r.a. lancarkan Islam sepertinya sudah mati (stagnan), merana, gersang, terluka, dan sakit yang disebabkan oleh berbagai ujian dan serangan yang begitu berbahaya laksana api yang menyala-nyala. Kemudian, melalui perantaraan Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. Allah telah menyelamatkan dan melepaskan kaum Muslimin dari segenap cobaan dan bahaya yang datang dengan dukungan-dukungan-Nya yang begitu menakjubkan. Khilafah Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. telah berhasil mengembalikan stabilitas keamanan dan disegani oleh penguasa-penguasa di sekitarnya, dengan demikian berakhirlah masa-masa pengkhianatan orang-orang munafiq dan cerah cerialah wajah orang-orang mukmin.
Demikianlah, sesungguhnya ayat-ayat ini semuanya merupakan pemberitahuan tentang khilafah (kekhalifahan) Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. dan bukan pada yang lain, kemudian ayat-ayat ini juga merupakan nubuwatan-nubuwatan masa yang akan datang, yang diharapkan ketika nubuwatan-nubuwatan telah menjadi genap keimanan orang-orang mukmin akan bertambah, dan orang-orang mukmin dapat mengetahui janji-janji Tuhan Yang Maha Mulia. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberitahukan pada ayat-ayat tersebut tentang suatu zaman dimana pada zaman itu akan muncul banyak fitnah dan musibah-musibah bagi agama Islam setelah wafatnya Sang Khairul Anam (Rasulullah saw). Allah Ta’ala telah berjanji bahwasanya Dia akan mengangkat (menjadikan) seorang khalifah pada zaman itu yang berasal dari kaum mukminin itu sendiri. Dia juga akan mengembalikan kaum mukminin kepada situasi yang aman setelah mereka didera berbagai rasa takut, mengokohkan kembali agama-Nya setelah dilanda berbagai guncangan dan musibah dan Dia akan menghancurkan orang-orang yang berbuat kerusakan melalui Khalifah yang Dia angkat.
Tidak diragukan lagi kebenaran khabar ghaib (nubuwatan) ini, tertuju kepada Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. dan zaman beliau. Hadhrat Abu Bakar Shiddiq ra ketika diangkat menjadi khalifah, kondisi agama Islam seperti halnya satu tembok pagar yang sedang diusahakan untuk dirobohkan, kemudian Allah Ta’ala melalui kekuasaan Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. telah menjadikan Islam laksana kubu pertahanan yang padanya dibangun dua tembok pagar besi dengan dijaga oleh satu fauj (resimen) pasukan yang benar-benar disiplin dan patuh.
Sebagian dari sekte Syi’ah telah memusuhi Ahlussunnah karena masalah kedudukan Khalifah Abu Bakar Shiddiq r.a. Ini telah lama berlangsung, yang tekadang dengan sebab masalah ini pula sampai-sampai harus diselesaikan dengan peperangan. Bahkan masalah ini telah membawa kedua kelompok yang berseberangan kepada suatu proses hukum.
Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. menempati kedudukan yang paling tinggi dari semua sahabat
Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. adalah salah seorang sahabat agung Yang Mulia Rasulullah saw dan menempati kedudukan yang paling tinggi dari semua shahabat, beliaulah Khalifah Pertama tanpa diragukan lagi. Mengenai beliau ra pula ayat-ayat tentang khilafah telah diturunkan.
Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. telah menyelamatkan agama Islam dari bala bencana perpecahan dan kezaliman yang sangat, beliau telah memerangi musuh-musuh kebenaran, menegakkan kepercayaan serta keamanan dan menggagalkan setiap usaha untuk berbuat kebohongan.
Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. memiliki berbagai kebaikan dan keberkatan yang banyak dimana kebaikan dan keberkatannya itu tidak bisa dihitung, ia juga mempunyai banyak jasa terhadap kaum Muslimin dan hal ini tidak ada yang memungkirinya kecuali orang yang pertama-tama melampaui batas. Sebagaimana Hadhrat Abu Bakar Shiddiq ra telah dijadikan Allah sebagai pengemban amanat untuk dapat menentramkan kaum Mukminin dan memadamkan pemberontakan orang-orang kafir dan murtad, demikian juga beliau telah dijadikan sebagai orang yang pertama kali mengadakan usaha-usaha untuk menjaga Al-Qur’an, Kitabullah Al-mubiin dan mengkhidmatinya. Dengan segala kesungguhannya beliau telah berusaha untuk mengumpulkan dan menyusun susunan Al-Qur’an. Tidak henti-hentinya kedua mata beliau ra mencucurkan air mata sebagai pelipur lara dalam mengkhidmati agama, di mana riwayat-riwayat seperti ini sungguh telah sampai kepada suatu derajat yang meyakinkan. Akan tetapi sikap ta’ash-shub (kefanatikan) telah mengalahkan kejujuran para pengkaji masalah ini.
Dan dari kebaikan-kebaikan Hadhrat Abu Bakar Ash-shiddiq r.a. dan keistimewaan-keistimewaan beliau yang khusus adalah bahwa beliau telah menemani Sang Khairul Bariyyah, Yang Mulia Rasulullah saw dalam perjalanan hijrah yang sangat mencemaskan dan membahayakan itu. Hadhrat Abu Bakar Shiddiq ra telah menetapkan dirinya untuk menemani orang yang sangat dicintai Allah Ta’ala. Rahasia dari kejadian yang demikian ini adalah bahwasanya Allah Maha mengetahui bahwa Hadhrat Abu Bakar Shiddiq ra adalah asyja’ush-shahaabat (Sahabat Rasulullah saw yang paling berani), shahabat yang paling kuat kecintaannya kepada Yang Mulia Rasulullah saw. dan orang yang telah hilang sirna dalam kecintaan terhadap Penghulu segala sesuatu yang ada di alam semesta.
Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. telah membiasakan diri dari sejak masa permulaan Islam untuk senantiasa melindungi Yang Mulia saw. dan mengurus urusan-urusan beliau. Allah telah menjadikan Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. sebagai pembela Nabi-Nya pada masa-masa kritis dan juga telah memberi beliau nama Ash-shiddiq serta mendekatkannya dengan Nabi Tsaqalain (Nabi bagi jin dan manusia). Demikian juga Allah telah menganugerahkan jubah kehormatan tsaaniyats-naini (orang kedua dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua) dan telah menjadikan beliau ra termasuk orang-orang yang diistimewakan.
Bersama itu pula Hadhrat Abu Bakar Shiddiq ra termasuk kepada orang-orang yang sudah teruji dan orang-orang yang berwawasan luas dan cerdas. Beliau telah berhasil memecahkan banyak perkara-perkara yang pelik dan sulit serta telah ikut berperang dalam berbagai medan peperangan. Beliau mahir dalam bidang stategi perang, pandai menganalisa situasi dan kondisi, dan lihai dalam mendobrak pertahanan musuh. Begitu banyak musuh-musuh kaum Muslimin yang sudah beliau hancurkan, tundukan dan bahkan beliau tawan. Begitu banyak pemborontakan-pemberontakan dapat beliau patahkan dan begitu banyak ekspansi-ekspansi yang beliau lakukan sehingga beliau menjadi seorang yang betul-betul teruji dan berpengalaman.
Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. orang yang sabar atas segala kesulitan dan cobaan, oleh karena itu pula Allah telah memilih beliau sebagai orang yang menemani Yang Mulia Rasulullah saw. dalam perjalanan hijrah. Allah Ta’ala telah menyanjung Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. beliau atas kebenaran dan keteguhannya dan telah mensinyalir bahwasanya beliau r.a. adalah orang yang pertama dari sekian orang yang sangat dicintai oleh Yang Mulia Rasulullah saw., orang yang unggul dalam hal kepercayaan, keikhlasan dan pemenuhan janji.
Allah Ta’ala telah meletakkan segala sesuatu pada proporsinya dan telah mengalirkan air-air dari sumbernya yang asli. Kemudian Allah Ta’ala telah memandang kepada Ibnu Abi Quhafah dengan pandangan istimewa dan menjadikan beliau r.a. termasuk kepada al-mutafarridiin (orang-orang yang tidak ada bandingannya).
Allah Ta’ala, telah berfirman tentang Hadhrat Abu Bakar Shiddiq ra sebagai berikut:
wÎ) çnrãÝÁZs? ôs)sù çnt|ÁtR ª!$# øÎ) çmy_t÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿ2 ÎT$rO Èû÷üoYøO$# øÎ) $yJèd Îû Í$tóø9$# øÎ) ãAqà)t ¾ÏmÎ7Ås»|ÁÏ9 w ÷btøtrB cÎ) ©!$# $oYyètB ( tAtRr'sù ª!$# ¼çmtGt^Å6y Ïmøn=tã ¼çnyr&ur 7qãYàfÎ/ öN©9 $yd÷rts? @yèy_ur spyJÎ=2 úïÏ%©!$# (#rãxÿ2 4n?øÿ¡9$# 3 èpyJÎ=2ur «!$# Ïf $uù=ãèø9$# 3 ª!$#ur îÍtã íOÅ3ym ÇÍÉÈ
Artinya: “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang Dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu Dia berkata kepada temannya: ‘Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah Itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( Q.S.At-Taubah :40) ”[20]
Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. telah dikarunia Allah untuk ikut menemani Yang Mulia Rasulullah saw pada peristiwa hijratun-nabi dan diabadikan Allah dengan firman-Nya: Innallaha ma’anaa (Sesungguhnya Allah beserta kita). Demikian juga Allah telah menjadikan beliau r.a. termasuk orang-orang yang didukung oleh Allah Ta’ala. Beliau telah melakukan perjalanan hijrah untuk menemani dan melindungi Yang Mulia Rasulullah saw. dari segala serangan ketika mereka bersembunyi di gua. Demikian ini telah dinyatakan dengan jelas dalam dalam Al-Qur’an tanpa keraguan sedikitpun dan sesungguhnya Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. itu termasuk orang-orang yang do’a-doanya dikabulkan Tuhan.
Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. adalah seorang laki-laki yang telah dikaruniai Allah dengan berbagai kedudukan yang spesial. Allah telah menjadi saksi bahwa sesungguhnya beliau r.a. termasuk kepada al-khawaash (orang-orang yang terkemuka) dan berpembawaan sabar. Beliau r.a. telah dipuji dan disanjung oleh Allah Ta’ala, hal ini mengisyaratkan bahwa beliau adalah seorang laki-laki yang tidak sanggup untuk berpisah dengan Rasulullah saw., akan tetapi beliau ridha untuk berpisah dengan karib kerabat dan orang-orang yang ia anggap tokoh selain beliau saw. Beliau telah mendatangi Yang Mulia Rasulullah saw untuk membela, mengorbankan jiwa dan mengorbankan darahnya. Oleh karena itu Yang Mulia Rasulullah saw. telah memanggil Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. untuk menyertai beliau. Maka ia datang dengan sigap untuk menyertai beliau ketika pasukan Quraisy mengepung dan mau mengusir Yang Mulia Rasulullah saw.
Nabi Muhammad saw, telah mendatangi Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. seraya bersabda: “Sesungguhnya aku diperintah Allah untuk berhijrah, dan engkau hendaklah berhijrah denganku dari tempat ini”. Maka Hadhrat Abu Bakar Shiddiq ra mengucapkan alhamdulillah atas karunia-Nya dimana beliau telah dijadikan orang yang akan menyertai Al-Mushthafa dalam kondisi yang sangat gawat itu. Hadhrat Abu Bakar Shiddiq ra senantiasa menunggu masa-masa dimana ia akan dapat berbuat sesuatu untuk menolong Nabi saw sambil mengawasi situasi dan kondisi. Maka berangkatlah Hadhrat Abu Bakar Shiddiq ra untuk menemani Yang Mulia Rasulullah saw dengan hati khawatir tetapi campur bahagia, beliau tidak merasa takut akan dibunuh para pembunuh yang telah menyebar.
Maka keutamaan Hadhrat Abu Bakar Shiddiq ra itu telah tegas, nyata dan terang dari nash muhkan (nas yang sudah jelas) dan dari karunia-Nya pula. Semua itu memberi penjelasan kepada kita dengan dalil yang pasti dan kebenaran yang nyata laksana mata hari yang terbit di pagi hari yang terang. Hadhrat Abu Bakar Shiddiq ra telah menyukai nikmat-nikmat akhirat dan meninggalkan kenikmatan-kenikmatan sekejap, dimana tidak ada orang lain yang mampu untuk menggapai keutamaannya.
Jika ada pertanyaan kenapa Allah SWT. mengutamakan Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. untuk memimpin silsilah khilafah dan ada rahasia apa yang ada di dalamnya? Maka jawabannya adalah “sesungguhnya Allah benar-benar telah memandang Ash-Shiddiq adalah orang yang telah diridhai dan meridhai Allah serta beriman kepada Yang Mulia Rasulullah saw dengan sepenuh hati. Beliau r.a. telah masuk Islam di tengah kaum yang belum memeluk Islam dan pada zaman dimana Nabi saw. ada dalam kesendirian (baru diikuti keluarga terdekat saja) sedangkan kerusakkan masyarakat Arab Quraisy begitu parah. Setelah beriman, Ash-shiddiq ra melihat berbagai macam kehinaan dan aib pada masyarakat Quraisy. Beliau telah dikutuk oleh kaum, keluarga, paman dan bibi beliau, dan telah disakiti di jalan Allah Yang Maha Pengasih dan beliau r.a. telah diusir dari negerinya sebagaimana nabiyyul ins (Nabi yang diutus untuk manusia) dan nabiyyul jaan (Nabi yang diutus untuk bangsa jin) pun telah diusir. Hadhrat Abu Bakar Shiddiq ra telah menerima cobaan yang banyak dari musuh-musuh Islam, kutuk laknat dari orang-orang yang beliau cintai, beliau telah berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Tuhan Yang Maha Mulia dan beliau ra telah rela hidup seperti halnya orang-orang hina (rendah) setelah sebelumnya beliau menjalani kehidupan sebagai seorang pemuka kaum dan bergelimang kemewahan.
Hadhrat Abu Bakar Shiddiq ra telah berperang di jalan Allah, disakiti di jalan Allah, dan telah berjihad dengan hartanya di jalan Allah hingga menjadi laksana orang-orang fakir dan miskin. Maka Allah berkehendak untuk memperlihatkan balasan ganjaran dari kebajikan-kebajikan yang beliau telah lakukan, yakni dengan mengganti apa yang beliau waqafkan dengan ganjaran yang lebih baik lagi. Allah bermaksud untuk memperlihatkan ganjaran dari apa yang beliau ra telah lihat dalam mengharap akan ridha Allah semata. Allah sekali-kali tidak akan menghilangkan ganjaran orang-orang yang berbuat kebajikan. Dengan demikian, Tuhan beliau ra telah mengangkatnya sebagai Khalifah, mengangkat kehormatan beliau, memulyakan beliau ra sebagai rahmat dan karunia dari-Nya dan menjadikan beliau ra sebagai Amirul Mu’minin.
Adapun orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya tiga khalifah (Hadhrat Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra) adalah orang-orang kafir, munafik dan perampok maka tidaklah ia telah mengkafirkan ketiganya akan tetapi ia telah mengkafirkan seluruh shahabat Yang Mulia Rasulullah saw karena semua shahabat telah berbai’at kepada Hadhrat Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum.[21] Mereka bertiga telah ikut serta dan menjadi saksi atas berbagai peperangan di berbagai tempat dalam rangka penyebaran Islam dan mereka telah berhasil menaklukkan negeri-negeri orang kafir. Mereka yang berpengetahuan dangkal, menyatakan bahwa sepeninggal Yang Mulia Rasulullah Saw. orang-orang Islam telah menjadi murtad semuanya. Seolah-olah semua janji-janji Tuhan yang dikemukakan dalam Kitab Allah Yang Maha Mengetahui untuk menolong Islam adalah dusta belaka. Dan itulah pendapat kebanyakan orang Syi’ah dimana hal itu telah menjadi darah daging mereka dalam setiap pembicaraan dan mereka telah menutup mata dari kebenaran.
Sangat disayangkan atas mereka yang tidak mau sadar dari menyajikan berbagai sikap panatisme dan tidak mau berhenti dari berbuat macam-macam kebohongan. Sungguh kondisi mereka itu sangat mengherankan, mereka telah berani mengkafirkan tiga shahabat besar Yang Mulia Rasulullah Saw. dan mengelompokkan mereka kepada kelompok orang-orang munafik dan murtad. Padahal Al-Qur’an tidak mungkin dapat menyelamatkan mereka kepada suatu era yang aman dan tentram jika kekuasaan ketika itu berada pada tangan orang-orang kafir. Maka mereka tetap berpendirian bahwasanya Al-Qur’an yang ada pada tangan orang-orang tidaklah berarti apa-apa, bahkan derajatnya telah jatuh dan bukan lagi firman Tuhan-nya manusia akan tetapi hanyalah berupa kumpulan kata-kata para pemutar balikan (para Pendusta-Peny).
Orang-orang Syi’ah berpendirian dan menyatakan bahwasanya Hadhrat Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum adalah para pengkhianat dan perampok. Tidaklah ada satu orangpun dari ketiganya yang bersifat amanat dan beragama. Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang luput dari kebenaran, tidak beragama dan tidak mempunyai kitab agama. Karena suatu kaum jika telah menentukan bahwa para shahabat telah menjadi kafir, munafik, murtad kepada kepercayaan semula, musyrik, bergelimang dengan dosa kekafiran dan tidak mau membersihkan diri mereka dari dosa-dosa itu maka mereka mesti menetapkan bahwa sesungguhnya Al-Qur’an itu tidak abadi kebenarannya, diputar balikan, telah ditambah dan dikurangi, dan telah dirubah dari teks aslinya.
Maka sesungguhnya penetapan-penetapan ini menjadi wajib atas mereka secara terpaksa setelah kebulatan tekad mereka sebagai suatu keberanian yakni harus menetapkan bahwa sesungguhnya Al-Qur’an tidak tersebar dari tangan orang-orang mukmin dan shalih, akan tetapi Al-Qur’an telah disebarkan oleh satu kaum dari orang-orang kafir, pengkhianat dan murtad. Dan jika mereka bependirian bahwasanya Al-Qur’an itu telah hilang dan setiap orang yang telah mengumpulkannya adalah kafir dan tertolak, maka tidak diragukan lagi bahwa mereka itu telah putus asa dari apa yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw.
Mereka tetap teguh bersama iman-iman mereka sambil menyembunyikan hakikat yang sebenarnya, mereka telah memilih taqiyyah[22] untuk urusan dunia dan agama karena takut akan para musuh, untuk mengambil suatu manfaat dan harta duniawi, maka inilah sebesar-besarnya musibah bagi Islam dan cobaan-cobaan yang sangat berat bagi agama Nabi Muhammad saw.
Jawaban terhadap Isu perampasan hak Oleh Hadhrat Abu Bakar dan Umar ra.
Salah satu kepercayaan Syi’ah adalah bahwa Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. dan Hadhrat Umar Al-Faruq r.a. telah merampas hak dan menzalimi Hadhrat Ali Al-Murtadha r.a. dan Hadhrat Fatimah Az-Zahra r.a. Dikatakan bahwa Abu Bakar r.a. telah menolak memberikan kebun Fadak kepada pemiliknya sendiri yaitu Siti Fatimah yang memperoleh kebun Fadak itu dari ayahnya, Muhammad saw. Sebagai hadiah. Orang-orang Syi’ah semacam itu telah meninggalkan keadilan dan menyenangi kesewenang-wenangan, mereka telah berjalan di atas jalan orang-orang yang berbuat aniaya.
Orang-orang syi’ah menuduh Hazrat Abu Bakar ra. merampas Fadak dari Fatimah ra.sebagai pewarisnya setelah pengangkatannya sebagai Khalifah.
Fadak diberikan oleh Allah swt. kepada rasululah saw. sebagai fai, yaitu harta yang diperoleh kaum muslimin tanpa melalui peperangan (Lisanul Arab). Tentang apa yang dinamakan Fadak, banyak sekali pendapat.diantaranya
- Fadak adalah sebuah desa di Khaibar (Kamus / Azhari)
- Suatu baldah sejauh perjalanan dua hari dari Madinah (Mishbahul Lughah)
- Suatu desa di Hijaz (Lisanul Arab)
- Fadak adalah sebuah desa di Hijaz sejauh perjalanan dua atau tiga hari dari Madinah dan diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai Fai (Marashid’l Attila ‘Ala Asmail Amkinah wal Biqa, cet.Jerman, jld. 2, hal.337)
- Fadak adalah sebuah desa di Hijaz sejauh perjalanan tiga hari dari Madinah (Mi’jamul Buldan Yaqut Hamawi)
- Fadak adalah nama sebuah desa sejauh perjalanan tiga hari dari Madinah (Fathul Bari, jld. 6, hal.140)
- Versi kaum Syi’ah, informasi mengenai fadak bersumber pada Biharul Anwar jilid delapan, sebagaimana digambarkan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq. Menurut Mulla Baqir Majlisi bahwa Harun Al-Rashid menawarkan Fadak kepada Imam Musa Al-Kadzim,tapi ditolaknya karena Fadak itu tak mungkin diberikan Harun Al-Rashid karena batas-batas yang disebutkan oleh Imam Musa Al-Kadzim itu ialah dari Aden sampai Samarkand.[23]
Berkenaan dengan fai ini Allah swt, berfirman :
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 w tbqä3t P's!rß tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
“ Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.”[24]
Dalam kitab tafsir Shafi tentang ayat “qulilanfaalu lilLahi warrasuuli” yang dikutip oleh Salaeh A. Nahdi di dalam buku Saqifah dikatakan:”Di dalam kitab (Syi’ah) At-Tahzib (TahzibulAhkam) diriwayatkan oleh Imam Baqir dan Imam Ja’far Shadiq bahkan Fai dan Anfal adalah tanah yang diperoleh tanpa pertumpuhan darah atau didapat sebagai hasil suatu persetujuan damai dengan suatu kaum yang memberikan tanahnya itu.Atau suatu tanah ysng terlantar (kosong tak ada yang mengurusnya) atau yang terletak di suatu lembah.semuanya ini adalah fai dan anfal dan adalah milik Allah dan Rasul-Nya.sedang milik Allah adalah juga milik Rasul dan Rasul membelanjakan dari (hasilnya itu) ke mana dia suka. Sesudah Rasul wafat, dia jatuh di bawah kekuasaan Imam.Di dalam kitab Kafi disebutkan dari Imam Ja’far Shadiq bahwa tanah yang tak pernah dilalui kuda atau lainnya atau tanah yang didapat sebagai hasil persetujuan dengan orang-orang lain atau orang itu memberikannya sendiri, juga tanah mati (tak terpakai) dan yang ada di lembah adalah untuk Allah dan Rasul-Nya. Sesudah Rasul untuk Imam membelanjakan kemana dia suka.”[25]
Dari ayat dan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa fadak itu bukanlah milik pribadi siapa-siapa pasca kewafatan Nabi saw, tidak pula dapat diwariskan kepada anak cucu karena itu merupakan fai milik umat dan hasilnya dimanfaatkan oleh orang-orang yang berhak termsuk orang miskin dan yang kehabisan bekal di perjalanan. Kalau pun dikatakan siti Fatimah telah melakukan tuntutan yang tampak dalam saqifah itu sangat berlebih-lebihan, kemudian beliau sadar dan mengerti serta insyaf. Hal ini dicermnkan oleh hadits berikut yang terdapat dalam literatur Syi’ah yang artinya sebagai berikut:
“ketika Abu Bakar melihat Fatimah berdiam diri dan menjauh dari Abu Bakar serta meninggalkannya dan tidak mau mengatakan apa-apa tentang masalah Fadak, Abu Bakar merasa kurang enak hati. Maka demi mengambil hati Fatimah Abu Bakar pergi mengunjungi Fatimah dan mengatakan:”wahai puteri Rasul! Anda tidak salah dalam pendirianmu. Namun saya melihat sendiri Rasulullah saw itu membagi-bagikan hasil fadak itu kepada fakir miskin dan membayar upah para pekerjanya setelah beliau memberikan belanja kepada anda”. Fatimah menjawab,”lakukanlah hal seperti itu, seperti yang dilakjukan oleh ayah saya Rasulullah saw”. Abu Bakar mengatakan: “demi Allah, itulah yang saya lakukan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw”. Fatimah berkata:”Demi Allah seperti itulah anda lakukan”. Abu Bakar berkata:” demi Allah,seperti itulah yang saya lakukan”. Fatimah berkata:”Ya Allah Engkau menjadi saksi”. Dan beliau pun puas dan suka daa mengikat janji. (Mahjaj As-Salikin)[26]
Maitham Baharani mengatakan dalam syarh Nahjul Balaghah sebagai berikut:
“setelah Abu Bakar mendengar kata-kata Siti fatimah beliau memuji Allah swt.,dan mengucapkan salawat dan salam kepada rasulullah saw lalu mengatakan: “wahai wanita yang paling afdhal diantara semua wanita,puteri insane yang paling mulia! Apa yang saya lakukuan adalah samadengan yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan sekali-kali tidak melanggarnya. Saya lakukan apa yang diperintahkan saja oleh beliau. Sekarang semoga Allah memaafkan anda dan memaafkan kami. Sesudah itu, senjata milik Rasul yang ada pada saya dan hewan tunggangannya telah saya serahkan kepada Ali. Selain itusaya mendengar Rasulullah saw bersabda bahwa kami para nabi tidak diwarisi dan tidak mewariskan, baik perak,tanah,sawah atau rumah. Kami hanya mewariskan iman,hikmah,ilmu dan sunnah. Apa yang saya lakukan itulah dia denagn segala I’tikad baik dan niat yang tulus melakukan tugas saya. Wahai puteri Rasul mengatakan bahwa Rasul memberikan Fadak kepada Anda sebagai hibah. Abu Bakar mengatakan, siapa saksinya?. Lalu HAzrat Ali dan Ummu Aiman memberikan kesaksian. Hazrat Umar dan Abdurrahman bin Auf juga memberikan kesaksiannya bahwa Rasulullah saw membagi-bagikan hjasil fadak. Abu Bakar mengatakan, wahai puteri Rasul! Benar yang anda katakana benar pula yang dikatakan oleh Ali dan Ummu Aiman. Benar pula yang dikatakan oleh Umar dan Abdurrahman bin Auf. Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa mereka berdusta. Duduknya persoalan adalah begini. Apa yang menjadi hak ayah anda menjadi hak anda. Rasulullah saw memberikan kepada Anda keperluan belanja dsari hasil fadak, sisanya dibagi-bagikan dan sebagian diberikan di jalan Allah. Saya bersumpah dengan nama Allah bahwa untuk anda saya akan berbuat sama dengan yang diperbuat oleh Rasulullah saw. Siti Fatimah merasa puas dan baik kembali dan dilakukan janji untuk mengamalkan kesepakatan itu. Hazrat Abu Bakar mengambil hasil Fadak dan berapa kebutuhan belanja Ahlul Bait terpenuhi. Sesudah Abu Bakar, para khalifah melakukan hal yamg sama. Setelah masa Muawiyah dan setelah wafatnya Hazrat Hasan Marwan menjadikan satu pertiga dari fadak dijadikan miliknya. Selama masa khilafatnya ditentukan bagi dirinya dan seterusnya tetap ditangan anak keluarganya. Setelah datang masa Umar bin AbdulAziz, baru Fadak itu diberikan kepada anak-anak fatimah. (Syarh Nahjul Balaghah, cetakan Teheran)[27]
Sebuah riwayat yang menggambarkan sikap dan pendirian sayidina Ali dalam masalah fadak dari sumber syiah di katakan
Di riwayatkan oleh Al-qurki mengatakan, saya bertanya kepada Abu abdulah as mengapa sayidina Ali meninggalkan fadak setelah beliau menjadi wali beliau menjawab”saya mengikuti jejak Rasulullah SAW dalam sikap itu”.{biharul anwar jilid 8 hal.136, cetakan Teheran, merujuk kepada imam Baqair Majlisi}[28].
Sesungguhnya para shahabat r.a. itu adalah orang-orang yang telah meninggalkan negeri, kampung halaman, harta, dan perbendaharaan mereka lillah (karena Allah) dan lirasūlihi (untuk utusan-Nya). Mereka telah disakiti dan diperlakukan dengan berbagai bentuk keburukan oleh kaum kuffaar Quraisy, akan tetapi mereka tetap bersabar sebagaimana orang-orang yang berbuat banyak kebajikan yang telah dizalimi kaumnya. Mereka juga telah dijadikan khalifah-khalifah yang tidak pernah memenuhi rumah-rumah mereka dengan perak, pengawal dan mereka tidak menjadikan anak laki-laki dan perempuan mereka menjadi para pewaris emas dan perak. Sebaliknya mereka telah menyetorkan apa yang mereka dapati ke baitul māl (kas negara). Mereka tidak menjadikan anak-anak mereka sebagai putera mahkota yang akan menggantikan mereka sebagaimana anak-anak penguasa dunia dan orang-orang yang telah menyimpang dari kebenaran.
Mereka telah begitu senang dengan memakai busana orang-orang fakir dan orang-orang pinggiran serta tidak berkeinginan untuk menikmati kelezatan-kelezatan duniawi seperti halnya para pemimpin dunia. Masihkah ada orang yang mau menyangka bahwa Hadhrat Abu Bakar r.a. dan Hadhrat Umar r.a. dalam waktu yang panjang telah merampas harta benda orang-orang? Apakah dalam diri para sahabat r.a. ada kecenderungan untuk merampas atau menyerobot hak orang lain? Apakah sepak terjang mereka seperti itu ada dalam diri shahabat Rasulullah saw, padahal mereka benar-benar telah mendapat pujian dan sanjungan Allah Ta’ala ?
Tidak demikian, karena Allah benar-benar telah mensucikan jiwa-jiwa dan hati-hati mereka serta telah menerangi kepribadian-kepribadian mereka. Dia telah menjadikan mereka orang-orang yang terdahulu dalam menerima kebaikan-kebaikan yang datang kepada mereka. Kami tidak mendapati potensi-potensi lemah dan tidak pula sedikit pun keragu-raguan dalam diri mereka. Tidak pula ada berita tentang niat-niat buruk dan kezaliman mereka yang telah menghantarkannya ke dalam kerendahan derajat mereka yang dijadikan sarana utama untuk menetapkan diri mereka sebagai Khalifah. Sesungguhnya mereka itu termasuk kepada kaum yang berbuat adil.
Seandainya para sahabat r.a. memiliki harta berupa emas sepenuh bumi pasti mereka (Hadhrat Abu Bakar ra dan Hadhrat Umar ra) menafkahkannya di jalan Allah Ta’ala dan dalam jalan agama mereka. Maka bagaimana mungkin kita menuduh bahwa Hadhrat Abu Bakar r.a. telah memurkai Hadhrat Fatimah Az-Zahra r.a. yang dalam hal ini berarti telah menyakiti “fildatun-nabi” (sebagian tubuh Nabi saw) seperti halnya perilaku orang-orang yang jahat. Tidak demikian, bahkan Hadhrat Abu Bakar r.a. dan para shahabat yang lain itu berada dalam kebenaran. Allah telah menetapkan bahwa bagi mereka ada keberkatan-keberkatan dari-Nya karena Allah Maha Mengetahui akan isi hati orang-orang yang bertaqwa.
Hadhrat Umar r.a.
Sejak langkah pertama beliau tidak mau menjadi Khalifah. Beliau sadar dan dengan pandangan tajam ruhaniahnya memahami bahwa umat memerlukan tokoh yang paling berwibawa dan dihormati demimempertahankan keutuhan umat dan meneruskan misi Rasulullah saw. Pada saat-saat paling gawat mengancam umat dengan perpecahan beliau berba’iat kepada Abu Bakar. Setelah menjadi Khalifah beliau tampil secara meyakinkan sebagai Khalifah yang menerima titipan umat sesuai ayat Istikhlaf di atas. Semua syarat dan tanda bukti yang tercantum dalam ayat itu dipenuhi oleh Allah pada diri dan misi Umar r.a. juga.
Siapa yang mampu menutupi kesaksian sejarah dan siapa yang tidak tahu tentang kemajuan Islam di tangan Hadhrat Umar? Kaum Syi’ah juga tahu dan mengakui jasa dan karya-karya Umar pada Umat Islam.
Hadhrat Utsman r.a.
Hadhrat Utsman r.a. pun tidak kurang pengkhidmatannya kepada umat dan agama. Beliau adalah seorang yang sholeh, muttaqi dan luar biasa pengabdiannya. Salah satu jasanya yang luar biasa yaitu menyusun kitab Suci Alqur’an. Kitab suci ini tidak bisa disentuh kalau bukan orang suci seperti Hadhrat Utsman, apalagi menghimpunnya suatu keberkatan khusus. Ini saja sudah cukup sebagai bukti keabsahan khilafatnya. Meskipun disana-sini ada pembangkangan dan kenakalan orang munafik, orang lemah iman dan peranan Abdullah Bin Saba Ibnu As-Sa’uda, namun keberkatan yang dicurahkan Allah tidak terhingga. Spanyol di satu arah sampai ke Bukharah di wilayah bekas Uni Sofyet jatuh ke tangan kaum Muslimin dan Daulah Islamiyah semakin meluas.
Sebagai realisasi dari Firman Tuhan : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra (Alqur’an) dan Kami-lah yang akan menjaganya.” (QS. 15 / Al-Hijr :10) [30] Utsmanlah orang yang menjadi pengawal besar dan perkasa yang pertama dalam sejarah Alqur’an. Sudah tentu kaum Syi’ah mengerti, bahwa dalam pemeliharaan Alqur’an Hadhrat Utsman banyak jasanya. Beliau mencurahkan segala-galanya untuk membuat Alqur’an itu terpelihara dan keselamatannya terjamin dalam arti yang seluas-luasnya. Tak ubahnya Allah Ta’ala menggerakkan hatinya dan sekaligus menunjukkan keshalehannya dan ketakwaannya. Jasanya pada masa sulit dengan segala keterbatasan sarana merupakan bukti tak meragukan upaya beliau dan diakui oleh semua golongan umat sepanjang masa.
Enam tahun pertama masa khilafatnya berjalan sangat indah dan aman. Umat sangat senang di bawah Khilafat Utsman dan Islam maju dengan pesat ditangannya. Kenakalan dan kemunafikan pun dapat dikuasai. Upaya Abdullah Bin Saba meniupkan api fitnah mulai terasa tahun ke tujuh masa khilafatnya. Ibnu As-Sauda mulai mempengaruhi mereka yang pernah dihukum dan merasa sakit hati di berbagai tempat di daerah, mendekati sahabat mukhlis yang polos, muttaqi dan shaleh seperti Hadhrat Abu Dzar. Tetapi Utsman rela menyerahkan nyawanya, asalkan umat tidak pecah menjadi berantakan di masanya. Memang sampai akhir hayatnya ada satu umat, umat Islam tanpa sebutan tambahan apa-apa. Umat Islam tanpa sebutan Ahlu Sunnah Waljama’ah, sebutan kaum Syi’ah, dengan segala pecahannya yang tak terbilang, kaum Khawarij dan sebagainya. Utsman menghembuskan Nafas terakhir, namun umat tetap bersatu.
Sikap Hadhrat Ali terhadap tiga Khalifah r.a.
Ketika timbul suasana panas sekitar menentukan pimpinan umat setelah wafatnya nabi, tak seorangpun berkata bahwa nabi telah mewashiyatkan pimpinan umat, sehinggga tidak perlu lagi dipersoalkan. Diamnya para sahabat r.a. adalah bukti jelas bahwa apa yang didengung-dengungkan sebagai washiyat Ghadir Khum[31] itu pengertiannya dipaksakan oelh kaum Syi’ah hanya untuk mendukung aqidah mereka, bahwa khalifah pengganti Rasulullah saw. adalah Hadhrat Ali,bukan Khalifah Rasyidah yang tiga.
Peristiwa ghadir Khum terdapat dalam shahih Muslim, diriwayatkan Imam Muslim dengan sanad dari Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam : “Rasulullah saw. suatu hari berdiri berceramah di hadapan kami di mata air yang disebut Khum terletak di antara Mekkah dan Madinah. Beliau memuji serta menyanjung Allah, memberi petuah dan peringatan. Kemudian beliau bersabda: “lebih lanjut, ketahuilah wahai manusia. Saya hanyalah seorang manusia. Hampir datang utusan Tuhanku, maka saya pun akan menyambutnya. Dan saya meninggalkan pada kalian dua wasiat: Pertama kitabullah, di dalamnya terkandung petunjuk dan cahaya. Oleh karena itu ambillah kitabullah dan berpeganglah padanya.”
Lalu beliau menganjurkan berkaitan dengan kitabullah dan menekankan hal itu, selanjutnya beliau bersabda: “dan Ahlulbaitku.kuperingatkan kalian akan Ahlulbaitku.”Tiga kali. Kemudian Zaid ditanya tentang maksud istilah Ahlulbait. Lalu ia menjawab:” isteri-isteri beliau termasuk Ahlulbait beliau. Tetapi Ahlulbait beliau adalah orang-orang yang diharamkan makan sedekahan sesudah kewafatan beliau.” Dan dia (Zaid ) ditanya : “siapakah mereka itu?”
Dia menjawab:”keluarga Ali, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.”
Berkenaan dengan sabda Nabi berikut ini, yang diklaim oleh mereka sebagai bagian dari wasiat Ghadir Khum melalui riwayat yang lain, dan menjadi dasar bagi tuduhan mereka terhadap tiga khalifah rasyidah ra bahwa mereka merampas hak khilafat dari Ali ra. Bunyi hadits tersebut sbb:
مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيْ مَوْلَاه (الحديث)
Artinya:”Barangsiapa menjadikan Aku sebagai kekasihnya, maka Ali menjadi kekasihnya.”
Menurut hadits di atas nabi mengatakan bahwa ali sebagai “wali” bukan “mutawalli”, diantara kedua kata tersebut terdapat perbedaan makna. Fairuz Abadi, seorang penyusun kamus menjelaskan: “adapun yang menjadi anggapan Syi’ah, bahwa di dalam ayat “innamaa waliyyukumullahu…” atau di dalam hadits “man kuntu maulahu…”, terkandung bukti bahwa Ali ra., adalah khalifah sesudah Nabi saw.,maka itu adalah bukti kebodohan mereka yang memahami seperti itu. Sebab istilah “al-walayah” (dengan fathah), adalah lawan kata dari permusuhan. Isimnya adalah kata “maula” dan “waliy”. Sedang kata “al-wilaayah” (dengan kasrah), itulah yang bermakna kepemimpinan. Termasuk di dalamnya kata “waali” dan “mutawalli”.[32]
Jadi, dengan demikian arti dan maksud hadits sebagaimana yang dikemukakan oleh kaum Syi’ah untuk mendukung akidah mereka mengenai khalifah Ali ra. sebagai pengganti Nabi tertolak dari sisi tata bahasa Arab. Pemahaman yang demikian terlalu dipaksakan dan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa Arab yang benar dan telah disepakati.
Pendapat lain mengatakan : “Hadhrat Ali r.a.sendiri tidak tahu menahu tentang washiyat itu. Beliau tidak pernah mengemukakan kepada jama’ah muslimin, para sahabat nabi, bahwa beliau yang paling berhak menjadi khalifah menggantikan nabi. Bahkan Ibnu Abbas r.a. sendiri mendorongnya untuk meminta kepada Nabi sebelum beliau wafat, agar dapat kiranya Nabi memastikan, siapakah yang akan menggantikan beliau orang dari keluarga Nabi sendiri atau bukan. Ketika Hadhrat Abbas menyuruh Hadhrat Ali pergi kepada Nabi yang masih hidup dan masih dapat berbicara, beliau menolak. Sekiranya Hadhrat Ali tahu Nabi sudah berwashiyat dan sekiranya Hadhrat Abbas mengerti Nabi sudah berwashiyat supaya Ali menggantikan Nabi, niscaya Hadhrat Abbas tidak akan mendorongnya mengahadap Nabi. Ucapan Hadhrat Abbas r.a. kepada Hadhrat Ali berbunyi : “Ya Ali, pergilah kepada Rasulullah saw. Dan bicarakan dengan beliau tentang pola pengganti beliau nanti. Kalau jabatan itu harus jatuh kepada kami (keluarga) supaya Nabi terangkan atau tinggalkan sebuah pesan tentang kami.” Hadhrat Ali menjawab : “ saya bersumpah tidak akan mengatakannya. Kalau Nabi melarang kami mengatalan ‘tidak’, maka berarti umat tidak akan memeberikan kesempatan kepada kami.” (Nahjul Balaghah).
Hal itu menunjukkan, minimal sampai pada saat-saat Nabi menghadapi sakaratul-maut pun, Hadhrat Abbas, Hadhrat Ali dan para sahabat lainnya tidak tahu menahu tentang washiyat di Ghadir Khum itu. Sekiranya Hadhrat Ali benar-benar tahu Rasulullah saw. Telah memberikan washiyat untuk menggantikan beliau saw., pasti Hadhrat Ali tidak akan tinggal diam karena beliau seorang yang sangat pemberani. Apalagi masalahnya tentang khilafat, masalah yang sangat urgent dan bila Ali diangkat ke permukaan, tentu akan mendapat dukungan orang banyak khususnya dari para sahabat yang tahu tentang washiyat itu, jika washiyat itu benar-benar ada. Justru karena washiyat itu hanya sekedar cerita, maka para sahabat pun tidak ada yang mengetahuinya. Hadhrat Ali melakukan ba’iat di tangan Hadhrat Abu Bakar, kemudian di tangan Hadhrat Umar dan Hadhrat Utsman. Ali menerima tunjangan hidup dari tiga khalifah itu berturut-turut dan memberikan kerjasama dengan ketiga khalifah itu. Seandainya Hadhrat Ali tidak yakin khilafat itu diberikan Allah kepada orang-orang pilihan-Nya, tentu Hadhrat Ali akan bersikap lain. Setidaknya akan ada sikapnya yang menunjukkan penolakan terhadap kerjasama dengan khalifah-khalifah yang dianggap telah merampok haknya. Sangatlah tidak mungkin Hadhrat Ali sengaja berpura-pura yakni lain yang diperlihatkan dalam sikap dan tingkah lakunya di depan umat, para sahabat dan para khalifah lain juga yang tersimpan di dalam hatinya.”[33]
Berkenaan dengan seputar peristiwa menshalatkan jenazah Hadhrat Utsman r.a., menurut kepercayaan syi’ah Hadhrat Ali tidak menshalatkan Jenazah Hadhrat Utsman r.a. Jawabannya adalah hal itu salah. Hadhrat Ali ada ketika Hadhrat Utsman wafat, sebagaimana tertulis bahwa Hadhrat Ali , Hadhrat Thalhah, Zaid Bin Tsabit dan Ka’ab bin Malik r.a. hadir untuk menshalatkan jenazah Hadhrat Utsman r.a.[34]
Hadhrat Ali r.a. telah berbai’at kepada Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. dan Hadhrat Umar Al-Faruq r.a. padahal beliau dihasut oleh orang-orang munafik bahwa mereka berdua telah kafir dan merampas hak-hak beliau ra. Hadhrat Ali r.a. telah hidup bersama kedua khalifah tersebut, mengikuti mereka secara ikhlas dan berkeyakinan seperti mereka pula. Beliau r.a. tidak berbicara bohong, tidak merasa hina, dan tidak pula beliau melihat ketidak senangan. Dakwah beliau tidak merasa terhalangi oleh sebab adanya gelombang kekufuran dan kemurtadan di kalangan bangsa Arab, oleh karena itu Hadrat Ali r.a. bukanlah orang yang merasa terkungkung dalam suatu kekuasaan.
Dan adalah Hadhrat Ali ra. merasa berkewajiban untuk ikut melakukan serangan opensif ke berbagai wilayah di berbagai penjuru Arab baik di timur maupun di barat, beliau telah mendorong orang-orang untuk ikut berperang, membangkitkan semangat orang-orang Arab untuk bertempur serta menundukkan mereka dengan ucapan-ucapan beliau yang fasih, kemudian beliau memerangi kaum yang telah murtad.
Sekitar seratus ribu orang Arab benar-benar telah bergabung dengan Musailamah Al-kadz-dzāb dan beliau r.a. benar-benar telah berjuang untuk kepentingan khilafah, mendahulukan penuntasan masalah pemberontakan Musailamah, dan beliau bukanlah salah seorang yang telah mengikuti gerakan orang-orang kafir. Singkatnya, Hadhrat Ali r.a. tidak bertindak masa bodoh terhadap persoalan penting ini. Maka tidak ada alasan lagi yang dapat menyangkal bahwa beliau r.a. benar-benar telah maju kedepan untuk berjuang menegakkan kebenaran dan mengajak manusia kepada Tuhan.
Hal lain yang sangat mengherankan, bahwa Hadhrat Ali r.a. tidak merasa cukup menjadi orang yang telah ikut membai’at Hadhrat Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., bahkan beliau ra. telah shalat dibelakang keduanya pada setiap shalat fardhu. Hadhrat Ali r.a. tidak pernah absen dari waktu-waktu shalat berjamaah dengan mereka dan tidak pula beliau r.a. berpaling dari keduanya seperti halnya orang yang ragu-ragu. Beliau r.a. telah biasa ikut serta dalam musyawarah dengan Hadhrat Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., membenarkan pendapat-pendapat mereka serta menolong mereka dengan segenap kemampuan dan kesungguhan. Hadhrat Ali r.a. bukanlah termasuk kepada para penentang khilafat.[35]
Bagaimana mungkin Hadhrat Ali Asadullah r.a. telah mengikuti para khalifah sedangkan beliau mengetahui bahwa yang diikutinya itu telah berbohong dan mengada-ada dan seolah-olah kebenaran dan kedustaan itu sama saja menurut beliau. Tidaklah seseorang mengetahui bahwasanya orang yang bertawakkal pada suatu qadar dari Tuhan Yang Empunya kekuasaan tidak akan membuahkan jalan penipuan walau sekejap. Tidaklah mereka akan meninggalkan kebenaran, walaupun tubuh mereka harus terbakar sebagai konsekuensi kebenaran itu sendiri, dan tidaklah pula mereka akan menjadi para diktator yang lalim.
Jika memang sangkaan orang-orang Syi’ah demikian, maka berarti beliau r.a. telah mendatangi halaman orang-orang “kafir” (para shahabat Rasulullah Saw.) di setiap pagi dan petang hari dan termasuk orang-orang yang mencari popularitas.
Sama sekali berbeda, sifat-sifat dan karakter Hadhrat Ali r.a. bukanlah sifat-sifat yang dijumpai pada satu kaum (kaum Syi’ah) yang telah memenuhi jiwa-jiwa mereka dengan hawa nafsu mereka ketimbang memenuhinya dengan warna Ilahiah. Mereka telah mendahulukan dunia dari agama mereka, mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, mereka tidak mengambil petunjuk Ilahi yang terang benderang dan bukanlah mereka itu termasuk kepada orang-orang yang mukhlis.
Maka sangat disayangkan atas Syi’ah, mereka telah sangat berani mengatasnamakan Hadhrat Ali Al-Murtadha r.a. dalam kaitan mereka yang sangat tidak menyukai Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq Al-Atqa r.a. Mimpi-mimpi dan sikap mereka telah dipenuhi oleh fanatik buta, pura-pura buta dari lampu terang yang menyala dan mereka tidak merenungkan bagaimana jika seseorang itu dijadikan sasaran kecaman dan kritikan.
Tidak diragukan lagi, sesungguhnya Hadhrat Ali ra. adalah harapan dari para pionir dan contoh tauladan para dermawan, hujjatullah (bukti adanya Allah) atas hamba-hamba-Nya, khairun-nās (sebaik-baik orang pada zamannya) dan nūrullah (cahaya Allah) yang telah menyinari berbagai negeri. Akan tetapi pada masa kekhalifahan beliau ra. bukanlah masa yang aman dan damai, bahkan pada masa beliau itulah telah muncul berbagai badai fitnah dan permusuhan sedangkan orang-orang ketika itu berselisih pula tentang kekhalifahan beliau ra. dan kekhalifahan Umayah bin Abi Sufyan, mengenai hal itu kaum Muslimin melihat kepada keduanya dalam keadaan bingung. Sebagian orang menganggap bahwa keduanya telah menjadi kafir tulen, laksana racun dalam pembuluh darah dan kebenaran.
Menurut orang-orang Syi’ah, kebenaran itu berada di pihak Hadhrat Ali Al-Murtadha ra. Siapa yang telah memerangi beliau r.a. maka ia telah berbuat aniaya dan melampaui batas. Akan tetapi masa kekhalifahan beliau ra. tidak dapat dijadikan bukti bahwa masa itu adalah masa yang aman sentausa sebagaimana dikhabar gembirakan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. Bahkan Hadhrat Ali Al-Murtadha ra. telah disakiti oleh orang-orang yang berada di sekitar beliau dan khilafah beliau telah digilas di bawah macam-macam fitnah dan cobaan. Dan adalah karunia Allah itu sangat besar terhadap beliau ra. akan tetapi beliau telah hidup dalam kondisi yang menyedihkan dan menyakitkan. Beliau tidak mempunyai kesempatan untuk menyebarluaskan agama dan membungkam (melumpuhkan) para musuh Islam seperti para khalifah sebelum beliau r.a.
Bahkan pada masa kekhalifahan Hadhrat Ali r.a. tidak pernah luput dari gejolak masyarakat dan penolakan atas setiap program dan tujuan khilafat. Mereka tidak hanya berkumpul, akan tetapi mereka telah menjadikan berbagai kejahatan terus merebak. Ketika itu kaum Muslimin tidak dapat berkonsentrasi untuk menghadapi orang-orang yang menyakiti mereka, mereka tetap bersabar dan mereka itu termasuk orang-orang yang salih. Tidak mungkin kita menjadikan masa khilafah Hadhrat Ali r.a. ini sebagai suatu bukti pengenapan khabar suka tersebut, karena masa khilafah beliau r.a. dipenuhi oleh masa bermunculannya kerusakan, kelaliman dan kerugian yang dialami ummat Islam.
Kondisi-kondisi gawat semacam itu tidak nampak kecuali pada masa Khilafah Hadhrat Ali r.a. Bahkan, justeru kondisi-kondisi yang menakutkan itu telah muncul setelah hilangnya rasa aman. Pada masa itu berbagai fitnah, ujian, cobaan, dan perselisihan-perselisihan dalam hal nizhām al-Islām (tatanan agama Islam) mulai bermunculan demikian juga perselisihan-perselisihan yang lainnya.[36]
PENJELASAN-PENJELASAN TENTANG KEDUDUKAN PARA SAHABAT DARI SUMBER BUKU SYI’AH
1.Bahwa dengan kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr r.a. dan Hadhrat Umar r.a., Islammenduduki maqam yang tinggi. Kepada mereka berdua Allah ta’ala menurunkan rahmat dan kebaikan atas segala tugas mulia mereka berdua.[37]
2.Bahwa tidak ada keraguan tentang kedudukan Hadhrat Abu Bakar r.a. beliau orang yang benar. Jika seolah-olah Hadhrat Ali r.a. adalah orang yang pertama masuk Islam, padahal Hadhrat Abu Bakar r.a. lah orang yang pertama masuk Islam.[38]
3. Bahwa Ibrahim Nakh’i berkata, “ Hadhrat AbuBakr r.a. adalah orang yang pertama masuk Islam.”[39]
4. Bahwa Abi Nashrin berkata, “Dalam suatu dialog antara Hadhrat Abu Bakar r.a. dan Hadhrat Ali r.a. Hadhrat Abu Bakar berkata kepada Hadhrat Ali : “Aku telah Islam sebelum engkau.” Tetapi kemudian Hadhrat Ali r.a. tidak membantahnya. [40]
III. PENUTUP
KESIMPULAN
Sebagaimana kita maklum, sesudah Rasulullah saw. wafat, para sahabat beliau berhimpun di satu tempat Banu Sai’dah dan memilih Hazrat Abu Bakar sebagai khalifah pertama sesudah berembuk cukup lama. Mengenai Khilafat Umar, Hazrat Abu Bakar berkali-kali mengadakan musyawarah dengan orang-orang yang patut dimintai pendapat; demikian pula Khalifah-khalifah ketiga dan keempat memangku jabatan mereka melalui bemacam-macam cara pemilihan. Oleh karena itu, mengatakan bahwa mereka itu dipilih oleh Tuhan sungguh sukar difahami oleh pihak yang menentang. Namun kita tidak boleh lupa bahwasanya hasil pemilihan-pemilihan itu, pada hakikatnya merupakan pemilihan (seleksi) secara tak langsung oleh Tuhan yang mempengaruhi pikiran para pemilih supaya mencapai kesepakatan atas kehendak-Nya. Demi alasan itulah Rasulullah saw. telah memerintahkan para pengikut beliau agar tidak hanya mengikuti jejak beliau semata-mata, melainkan juga harus mengikuti jejak para Khulafaur Rasyidin yang dibimbing oleh Tuhan. Andaikata pemilihan mereka tidak memperoleh ridha Allah, niscaya Rasullah saw. sekali-kali tidak akan sudi memberikan perintah supaya menaati para khalifah.
Akan memadailah ayat istikhlaf untuk mengantarkan kita kepada suatu kebenaran dan sekaligus untuk menyangkal berbagai racun fitnah, karena di dalam ayat tersebut terdapat dalil yang kuat bagi orang-orang yang bersikap adil. Ayat istikhlaf mengajak kepada setiap tukang fitnah dan orang yang ragu hingga ia mampu berpaling dari fitnahan-fitnahan serta keraguan mereka. Dengan demikian kebenaran telah menjadi jelas atas para musuh walaupun mereka tidak menyukainya. Ayat itu memberi kabar gembira kepada orang-orang, tentang suatu masa yang aman sentosa, pasca masa ketakutan dari gangguan orang-orang yang lalim dan musuh-musuh kaum muslimin yang lainnya.
Menurut orang-orang Syi’ah, ayat istikhlaf ini tidak cocok jika dihubungkan kepada masa khilafah Ash-Shiddiq r.a., walaupun bagi para peneliti kebenaran hal itu telah menjadi jelas dan nyata. Maka sesungguhnya masa kekhalifahan Hadhrat Ali Al-Murtadha r.a. tidak dapat dipakai sebagai bukti kebenaran alasan pendapat mereka yang cacat ini. Keberhasilan yang gilang gemilang dari Hadhrat Ali r.a., berkhidmat dengan tidak kenal lelah dan menangkal argumentasi-argumentasi musuh kaum Muslimin, tidak dapat dijadikan satu argumentasi untuk menghancurkan dan merontokkan alasan akan kecocokannya masa khilafah Ash-Ashiddiq r.a., Umar dan Utsman sebagai masa yang dikhabar gembirakan Tuhan dan Rasulullah saw..
Dengan demikian, mengatakan bahwa 3 khalifah sebelum Hadhrat Ali tidak sah adalah keliru. Terlebih lagi mengklaim para khalifah r.a. sebagai pemberontak. Bagaimana tidak, Alqur’an, hadits Rasulullah saw., bahkan Hadhrat Ali r.a. sendiri pun mendukung keberlangsungan khilafah Hadhrat Abu Bakar, Umar dan Utsman. WaLlaa-hu ‘alam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ghulam, Mirza, “Al-Wasiat”, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2001
______;“Sirrul Khilafah”, Terjemahan Ust. Hajaruddin S.Ag.,td.,2008
Ahmad, Maulana Sheikh Mubarak, “Jawaban Atas Beberapa Keberatan Mengenai Khilafatur Rasyidah”,
Ar-Rasyid, Abdullah Abdurrahman, “Dialog Ilmiah Mengapa Sunni Syi’ah Sulit Bersatu”, Ar-Rahmah Media, 2008
Departemen Agama RI., “Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-Juz 30” ,
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, ”Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat Edisi kedua”, Jakarta : JAI, 1987
Nahdi, Saleh A., ”Saqifah Penyelamat Persatuan”, Arista, 1994
Situs Internet
Www. Hakekat. Com, Hakekat Tersembunyi Syi’ah Rafidhoh
[1] Jemaat Ahmadiyah
[2] Mirza Ghulam Ahmad, Sirrul Khilaafah, Terjemahan Ust. Hajaruddin S.Ag., h.19, t.d.
[3] Www. Hakekat. Com, Hakekat Tersembunyi Syi’ah Rafidhoh
[4] Penulis kitab Biharul Anwar (Peny.)
[5] Www. Hakekat. Com, op. cit
[6] Jemaat Ahmadiyah
[7] Mirza Ghulam Ahmad, Al-Wasiat, (Bogor : JAI, 1990), Cet. Ke-6, h. 13
[8] Maulana Sheikh Mubarak Ahmad, “Jawaban Atas Beberapa Keberatan Mengenai Khilafatur Rasyidah”
(
[9] Maulana Sheikh Mubarak Ahmad, op. cit. h. 30-31
[10] Mirza Ghulam Ahmad, Sirrul Khilaafah, op.cit., h.32
[11] Jemaat Ahmadiyah
[12] Mirza Ghulam Ahmad, Sirrul Khilaafah, op.cit., h.35-36
[13] Jemaat Ahmadiyah
[14] Mirza Ghulam Ahmad, Sirrul Khilaafah, op.cit., h.21-23
[15] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-Juz 30, (Jakarta : Surya Cipta Aksara Surabaya, 1993), Edisi Revisi, h. 12
[16] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-Juz 30 op. cit. Q.S. Al-Waqi’ah [56]:27 h. 894
[17] Kitab-kitab hadits mengemukakan bahwa Hadhrat Abu Bakar Ash-shiddiq ra menolak sebutan gelar Khalifatullah dan menerima gelar Khalifaturrasulillah,hal ini membuktikan bahwa beliau telah memahami makna Khalifatullah akan berarti mencakup pengertian Nabi sedangkan Khalifaturasulillah tidak demikian adanya. Adapun Imam Mahdi as yang oleh Yang Mulia Rasulullah saw disebut Khalifatullah Al-Mahdi akan berarti bahwa beliau juga seorang Nabi.Peny
[18] Mirza Ghulam Ahmad, Sirrul Khilaafah, op.cit., h.36-37
[19] Mirza Ghulam Ahmad, Sirrul Khilaafah, op.cit., h.38-39
[20] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-Juz 30 op. cit., h. 285
[21] Mirza Ghulam Ahmad, Sirrul Khilaafah, op.cit., h.49-50
[22] Taqiyyah adalah salah satu kepercayaan pokok orang-orang Syi’ah.
[23] Saleh A. Nahdi,Saqifah Penyelamat Persatuan Umat,(
[24] Al-Quran elektronik,
[25] Saleh A. Nahdi,op.cit.h.142
[26] Idem,h.144
[27] Idem, h.146
[28] Idem,h 146
[29] Saleh A. Nahdi, Saqifah, ( Jakarta : PT Arista Brahmatyasa, 1994), Cet. Ke-2, h. 116
[30] Jemaat Ahmadiyah
[31] Washiyat yang dianggap Syi’ah sebagai dasar bagi pengangkatan pimpinan umat yang diwashiyatkan Rasulullah saw. Kepafa Hadhrat Ali r.a. di Ghadir Khum, suatu tempat di dekat Mekkah.Washiyat itu berbunyi : “Orang yang menjdi temanku, Ali menjadi temannya.”
[32]Abdullah Abdurrahman Ar-Rasyid, Dialog Ilmiah Mengapa Sunni dan Syi’ah Sulit Bersatu, (Jakarta Selatan: Ar-Rahmah media, 2008), cet. Ke-1, h.110
[33] Saleh A. Nahdi, Saqifah, op.cit., h. 119-120
[34] Kamil Ibnu Atsir, jilid 3, hal. 76
[35] Mirza Ghulam Ahmad, Sirrul Khilaafah, op.cit., h 63-64
[36] Mirza Ghulam Ahmad, Sirrul Khilaafah, op.cit., h 68-69
[37] Syarah Nahjul balaghah, jilid 2 juz 15, hal. 219 dan Nahjul Balaghah, Bab 1 Satanad, hal. 51
[38] Abdul Hamid Habdullah Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Husen Bin Abi Al-Hadid Sya’I, Syarah nahjul Balaghah, jilid 1 Juz 2, hal. 213
[39] Syarah nahjul Balaghah, jilid 1, Juz 25, hal. 213
[40] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar