KONTROVERSI SEPUTAR TRADISI YASINAN
Menurut sejarah, lahirnya tradisi Yaasin dan Tahlil berangkat dari akulturasi budaya Islam dengan Jawa yang bernuansa Hindu-Budha. Islam ketika masuk ke tanah Jawa, pada masa awal penyebarannya dilakukan melalui dakwah kultural. Hal ini dimotori oleh Sunan Kalijaga yang juga seorang budayawan.
Pada saat itu, kebiasaan lek-lekan (kumpul malam hari) sepeninggalnya seseorang dulunya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang kurang Islami, main kartu, minum-minuman, dan sebagainya. Kemudian sedikit demi sedikit tradisi lek-lekan itu dikawinkan dengan nilai-nilai Islam melalui ritual Yaasin dan Tahlil. Akhirnya, mitong dino, matang puluh dino, mendhak sepisan dan seterusnya sampai saat ini dapat kita saksikan dalam ritual Yaasin dan Tahlil. Dan dakwah semacam itu cukup efektif yang menjadikan Islam besar di tanah Jawa.
Pada sisi lain, seperti tradisi Halal bi Halal sendiri, tradisi Yaasin dan Tahlil hanya di kenal di Indonesia. Tidak salah jika beberapa intelektual muslim berpendapat bahwa Islam di Indonesia adalah unik, memiliki rasa dan tidak gersang seperti di Timur Tengah atau negara lainnya. Sehingga ada yang lebih suka menyebutnya dengan ‘Islam Indonesia’, bukan Islam di Indonesia.
Sedangkan mengapa sampai saat ini NU masih tetap melestarikan tradisi Yaasin dan Tahlil, bukan hanya karena kegiatan Yaasin dan Tahlil adalah salah satu modal sosial, tetapi juga karena secara hukum adalah sah. Tidak ada dalam teks Al-Quran pun Hadist yang secara qoth’iy (pasti) mengharamkan atau melarangnya. Sedangkan, kelompok modernis Islam yang dulu dimotori oleh Muhammadiyyah menghukumi tradisi Yaasin dan Tahlil sebagai bid’ah yang didasarkan pada Hadist yang berbunyi, “Kullu bid’atun dlolaalatun”. Sayangnya Hadist tersebut salah dipahami dengan memaknainya sebagai “Setiap bid’ah adalah buruk”. Yang semestinya lafadl (kata) ‘kullu’ pada Hadist di atas dimaknai ‘sebagian’ (bi ma’na ba’dli). Artinya, memang benar ada bid’ah yang dlolaalah (buruk) dan pada sisi lain ada juga bid’ah yang hasanah (baik). Sayangnya, pada term yang terakhir kita jarang menyebutnya dengan bid’ah hasanah tetapi lebih sering dengan sebutan ijtihad.
Saya akan menawarkan beberapa fakta yang mungkin akan membuat Anda berfikir ulang tentang bid’ah. Mungkin sampai saat ini Anda masih mendefinisikan bid’ah sebagai tata cara ibadah atau ibadah (‘ubudiyyah) yang sebenarnya tidak pernah digariskan oleh Allah dalam Al-Quran dan Hadist. Singkatnya tata cara ibadah atau ibadah yang mengada-ada. Jika Anda tahu, sampai ini pemerintah Saudi Arabia telah melakukan perombakan-perombakan syariah haji (tata cara); seperti perluasan batas geografi Arafah dan Mina, perluasan Safa-Marwah, pengaturan penyembelihan hewan kurban, dan yang paling mutakhir, memperlebar ukuran Jamarat dari hanya tiang kecil menjadi tembok selebar tujuh meter[4]. Hal tersebut dilakukan karena semakin membludaknya jamaah haji pertahunnya.
Jika Anda masih konsisten dengan definisi bid’ah di atas, maka apakah Anda bisa mengatakan kebijakan pemerintah Saudi Arabia yang mengkreasi sedemikian rupa syariah haji akan Anda sebut juga sebagai bid’ah (dlolaalah)? Saya yakin, pada fakta di atas Anda akan cenderung menyebutnya sebagai proses ijtihad dalam rangka mengurangi kecelakaan yang terjadi akibat penumpukan jemaah. Nah, logika semacam itu juga berlangsung dalam tradisi Yaasin dan Tahlil, sebagai bentuk ijtihad dalam rangka dakwah kultural. Hanya saja kita—sekali lagi—alergi untuk menyebutnya dengan bid’ah hasanah. Karena term ‘bid’ah’ sudah kadung peyoratif dalam katalog kata kita.
Saya membaca bahwa Yaasin dan Tahlil sebagai bentuk ijtihad dalam rangka melakukan kodifikasi (pengumpulan-pelembagaan) dari bacaan surat Yaasin, dzikir dan do’a yang kemudian diritualkan. Hal ini saya pandang sejajar dengan kumpulan do’a-do’a, dzikir yang dikeluarkan oleh Ulama tertentu untuk pengikutnya. Seperti kumpulan do’a, dzikir dan sebagainya dalam Majmu’ Assyarif atau majmu’-majmu’ lainnya.
Saya kembali ingat, ada kaidah Fiqih yang berbunyi, “Al ‘adaatul muhakkamah”[5]. Artinya, “Adat atau kebiasaan bisa ditetapkan sebagai hukum”. Kontekstualisasi dari kaidah ini, bahwa kebiasaan atau tradisi yang secara esensial berisi nilai-nilai Islami dapat ditetapkan hukumnya menjadi sah atau boleh. Hal semacam ini dilakukan tidak semata-mata sebagai strategi an sich melainkan juga dalam kerangka penghormatan terhadap budaya tradisi yang nota benenya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang memuat nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Mujamil Qomar dalam disertasinya menulis, bahwa penghormatan pada tradisi yang baik ini pada akhirnya memuncak dengan memosisikannya sebagai hukum. Kalangan NU mengikuti kaidah Al ‘adaatul muhakkamah. Penetapan ini tidak sekedar berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial-kultural, tetapi juga memiliki sandaran teologis, baik Al-Quran maupun Hadist yang mendasari bangunan kaidah tersebut sehingga merasa haqqul yaqiin dalam menerapkannya[6]. Sandaran teologis yang dimaksud tepatnya adalah Hadist yang berbunyi, “Maa roohul muslimuuna hasanan fahuwa ‘indallahi hasanun”. Yang artinya, “Apapun yang menurut kaum muslimin pada umumnya baik, maka baik pula bagi Allah”[7].
sumber
1. Hal. 24 Terjemah Kitab Al Faraidul Bahiyyah: Risalah Qawaid Fiqh. Tahun 1977.
2. Luthfi Assyaukanie dalam, “Perlunya Merombak Teologi Haji” tahun 2007.
3. Hal 1. Terjemah Kitab Al Faraidul Bahiyyah: Risalah Qawaid Fiqh tahun 1977.
4. Mujamil Qomar dalam NU “Liberal” . Hal 97 tahun 2002.
HUKUM TAHLIL DAN YASINAN PADA SAAT KEMATIAN
Menurut Islam Moderat
Menurut Islam Moderat
Pada dasarnya memang tidak ada contoh langsung dari Rasulullah SAW tentang tahlilan yang dilakukan terutama dalam kaitannya dengan kematian seseorang. Sehingga melakukan hal itu bukan termasuk anjuran yang dibakukan sebagai bagian dari tata cara ritual kematian.
Namun bila masalahnya kita bedah berdasarkan bolehkah melakukan atau ikut dalam tahlilan? Atau berdosakah bila melakukan tahlilan? Maka kita perlu merinci terlebih dahulu apa itu tahlilan.
Paling tidak ada dua unsur utama dalam tahlilan: Pertama, bagaimana hukum mengirimkan pahala kepada orang yang sudah mati. Kedua, makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit itu apakah boleh dimakan atau tidak.
Pertama: hukum menghadiahkan pahala kepada oang yang telah meninggal.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdo’a dan mengahadiahkan pahala ibadah kepada orang yang telah meninggal dunia.
A. Pendapat pertama: Hal tersebut tidak diperintahkan agama berdasarkan dalil:
1. Dalil Qur’an
a. Firman Allah surat An-Najm: 38-39
Bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
b. Surat Al Baqaraah 286; Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya
Ayat-ayat diatas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang mempunyai maksud yang sama, bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat tambahan pahala kecuali yang disebutkan dalam hadits: Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo& akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, NasaI dan Ahmad).
B. Pendapat kedua: Membedakan antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah.
Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji sampai kepada mayyit, sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur’an tidak sampai.
Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’I dan pendapat Madzhab Malik. Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW: ‘ Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum {HR An-Nasa’I).
C. Pendapat ketiga: Do’a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bias bermanfaat untuk mayyit
Dalil yang digunakan adalah: 1. Dalil Alqur’an: ‘Dan orang-orang Yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a:’ Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami’ (QS Al Hasyr: 10) Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
2. Dalil Hadits
A. Dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda: Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW ‘ setelah selesai shalat jenazah-bersabda:’ Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka’ (HR Muslim). Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:’ Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:’ mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya’
(HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW.’ Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur? Rasul SAW menjawab, ‘Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya ‘insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
B. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada: Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat ,lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya:’ Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:’ saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya’ (HR Bukhari).
C. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum ; Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:’ Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya’(HR Bukhari dan Muslim)
D. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji ; Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya:’ Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya? Rasul saw menjawab: ‘Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar’ (HR Bukhari)
3. Dalil Ijma’
A. Para ulama sepakat bahwa do’a dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit.
B. Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda:’ Sekrang engkau telah mendinginkan kulitnya’ (HR Ahmad)
4. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya. Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat.
HUKUM TAHLIL DAN YASINAN PADA SAAT KEMATIAN
Menurut Salafiyah : Ditulis oleh abuyahya April 9, 2009
“Ayo pak kita yasinan di rumahnya pak RT!” Kegiatan yang sudah menjadi tradisi di masyarakat kita ini biasanya diisi dengan membaca surat Yasin secara bersama-sama. Mereka bermaksud mengirim pahala bacaan tersebut kepada si mayit untuk meringankan penderitaannya. Timbang-timbang, daripada berkumpul untuk bermain catur, kartu apalagi berjudi, kan lebih baik digunakan untuk membaca Al-Qur’an (khususnya surat Yasin). Memang sepintas jika dipertimbangkan menurut akal pernyataan itu benar namun kalau dicermati lagi ternyata ini merupakan kekeliruan, alasannya :
1. Al-Qur’an untuk Orang Hidup
Al-Qur’an diturunkan Alloh Ta’ala kepada Nabi Muhammad shollallohu’alaihi wa sallam sebagai petunjuk, rahmat, cahaya, kabar gembira dan peringatan. Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk membacanya, merenungkannya, memahaminya, mengimaninya, mengamalkan dan berhukum dengannya. Hikmah ini tidak akan diperoleh seseorang yang sudah mati. Bahkan mendengar saja mereka tidak mampu. “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati itu mendengar.” (Terjemah An-Nahl: 80). Alloh Ta’ala juga berfirman di dalam surat Yasin tentang hikmah tersebut yang artinya, “Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.” (Yasin: 69-70).
Alloh berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan surat Yasin jika dibaca secara khusus tidak dapat dijadikan hujjah. Membaca surat Yasin pada malam tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang tidak pernah dituntunkan oleh syari’at Islam. Bahkan seluruh hadits yang menyebutkan tentang keutamaan membaca Yasin tidak ada yang sahih sebagaimana ditegaskan oleh Al Imam Ad Daruquthni.
Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.
2. Biar Sederhana yang Penting Ada Tuntunannya
Jadi, tidak perlu repot-repot mengadakan kenduri, yasinan dan perbuatan lainnya yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam. Bahkan apabila dikaitkan dengan waktu malam Jum’at, maka ada larangan khusus dari Rosululloh shollalohu’alaihi wa sallam yakni seperti yang termaktub dalam sabdanya, “Dari Abu Hurairah, dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jum’at untuk melakukan ibadah yang tidak dilakukan pada malam-malam yang lain.” (HR. Muslim).
Bukankah lebih baik beribadah sedikit namun ada dalilnya dan istiqomah mengerjakannya dibanding banyak beribadah tapi sia-sia? Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim). Semoga Alloh subhanahu wa ta’ala melindungi kita semua dari hal-hal yang menjerumuskan kita ke dalam kebinasaan. Wallohu a’lam bishshowab.
MASALAH YASINAN
Menurut Ulama NU
Pengantar Redaksi:
Ada banyak orang yang mempermasalahkan membaca surat Yasin. Entah mengapa, kalau ada istilah "Yasinan" itu bagi orang yang "alergi" (bawel) dalam masalah amalan orang NU seakan-akan orang Yasinan itu bukan orang Islam. Atau orang ini disebut ahli bid'ah dan dijauhi sangat. Padahal Yasin-an, AlBaqoroh-an, AlFateha-an, Al Waqi'ah-an dan seterusnya masih banyak lagi. Tapi yang dikritik itu Yasinan saja. Untuk menjawab masalah ini kita bisa melihat tulisan KH. Munawwir Abd. Fattah, Pimpinan Pesantren Krapyak Yogyakarta yang ditulis pada NU ONLINE.
Ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa “Yasin lima quriat lahu”, artinya surat Yasin dibaca sesuai niat si pembaca. Yasin dapat dibaca saat kita mengharap rezeki Tuhan, meminta sembuh dari penyakit, menghadap ujian, mencari jodoh, dan lain-lain.
Akan tetapi, dalam praktik sehari-hari, akhir-akhir ini masyarakat sudah mentradisikan membaca Yasin dalam majelis-majelis kecil di kampung-kampung. Bahkan sudah lazim bacaan Yasin digabung dengan Tahlil. Tahlil dan Yasin telah menyatu menjadi bacaan orang-orang NU, dan selalu dapat kita dengar dari kelompok-kelompok kecil, kadang di siang hari, sore hari, malam hari, dan pagi hari.
Lebih dari itu, surat Yasin sudah menjadi kebiasaan masyarakat bila salah satu keluarga ada yang sakit kritis. Surat Yasin dibaca dengan harapan jika bisa sembuh semoga cepat sembuh, dan jika Allah menghendaki yang bersangkutan kembali kepada-Nya, semoga cepat diambil oleh-Nya dengan tenang.
Ada kalanya Yasin dibaca sendirian, ada juga bersamaan dengan tetangga yang lain. Yang jelas, orang yang sakit sudah ridak ada harapan lagi untuk sembuh karena tanda-tanda akan diakhirinya ke hidupan ini sudah jelas. Dan surat Yasin menjadi pengantar kepulangannya ke hadirat Allah.
Dalil orang-orang NU membaca surat Yasin ini adalah, pertama dalam hadits riwayat Nasa'i bersumber dari Ma'qal bin Yasar al-Muzan mengatakan, Rasulullah SAW pernah bersabda:
مَوْتَاكُمْ عِنْدَ يس اقْرَؤُا
“Bacalah surat Yasin di samping saudaramu yang sedang sekarat.”
Hadits ini juga berlaku bagi yang masih hidup untuk membacakan Yasin untuk yang sudah meninggal. Persis seperti sabda Rasulullah: Laqqinu mautakum La ilaha illallah (Tuntunlah orang mati dengan kalimat La ilaha illallah). Dan termasuk dalam hadits ini adalah bacaan Yasin di atas makam. (Demikian penjelasan dalam kitab Kasyifatus Syubhat, hlm. 263)
Dalam hadits Ma'qal bin Yasar tersebut juga disebutkan bahwa:
يس قَلْبُ القُرْآن لَا يَقْرَؤهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ الآخِرَةَ إلَّا غَفَرَ لَهُ اقْرَءُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ
Surat Yasin adalah jantung Al-Qur'an. Siapa saja yang membacanya semata-mata karena Allah dan berharap kebahagiaan akhirat maka ia akan diampuni. Maka bacakanlah Yasin di samping saudaramu yang sedang sekarat.
Diriwayatkan juga: jika seorang muslim dan muslimah dibacakan surat Yasin ketika mendekati ajal maka akan diturunkan 10 malaikat berkat dari huruf-huruf Yasin yang dibaca. Para malaikat itu berdiri berbaris di samping yang sakit, membacakan shalawat dan istighfar kepadanya dan ikut menyaksikan saat dimandikan dan mengantarkan ia ke makam. (Tafsir Yasin lil Hamamy, hlm. 2)
Dalam kitab Audhaul Ma’ani Ahadits Riyadh as Shalihin disebutkan bahwa bacaan surat Yasin untuk yang sedang mendekati ajal akan menjadi bekal dia, seperti halnya ia membawa susu kental dalam perjalanan. Dan surat Yasin pada dasarnya dapat dibaca untuk seseorang setelah meninggal di rumah atau bahkan di makam. (Audhaul Ma’ani, hlm. 376)
KH Munawwir Abdul Fattah
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta
dari NUonline:
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=15368
Keutamaan Surah Yasin
Abah Utik - Cirebon
Fenomena di atas tentunya bukan tanpa alasan. Di dalam kitab-kitab hadits memang ada hadits-hadits yang menerangkan keutamaan surat Yasin. Namun sangat disayangkan, menurut penelitian para ulama, hadits-hadits yang menerangkan keutamaan surah Yasin adalah lemah, tidak bisa digunakan sebagai dalil dalam beramal. Bahkan beberapa di antaranya adalah palsu. Imam Ibnul Qoyyim menyatakan bahwa semua hadits yang mengatakan , “Barangsiapa yang membaca surat ini akan diberikan ganjaran begini dan begitu... semua hadits tentang itu adalah palsu.” Hadits-hadits shahih yang menerangkan tentang keutamaan surat-surat al Qur’an selain surat Yasin memang ada, tetapi tidak menyebut soal ganjaran dan pahala.
Di antara hadits-hadits yang menerangkan keutamaan surah Yasin adalah:
“Barangsiapa yang membaca surat Yasin dalam satu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya. Dan barangsiapa membaca surat Ad-Dukhan pada satu malam jum’at, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya.“ (Ibnul Jauzi, al maudhuat 1:247). Hadits ini dinyatakan palsu oelh Imam Ibnul Jauzi, beliau menyatkaan bahwa hadits ini batil dan tidak ada asalnya.
”Barangsiapa membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari keridhaan Allah, maka akan diampuni dosanya pada malam itu.” (Riwayat.Imam Darimi, hadits ini lemah)
“Barangisapa terus menerus membaca surat Yasin pada setiap malam kemudian ia mati, maka ia mati syahid.”(Riwayat.Thabrani dalam Mu’jam Shaghir; hadits ini palsu)
“Barangsiapa membaca surat Yasin pada permulaan siang (=di pagi hari), maka terpenuhi semua hajatnya (=keperluannya)” (Riwayat.Imam Darimi, hadits ini lemah)
“Barangsiapa membaca surat Yasin satu kali seolah-olah ia membaca al Qur’an dua kali”. (Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman, hadits ini palsu.)
“Barangsiapa membaca surat Yasin satu kali seolah-oleh ia membaca al Qur’an sepuluh kali.” (Riwayat Baihaqi dalam Syuabul Iman, hadits ini palsu)
“Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu mempunyai hati dan hati (inti) al Qur’an adalah surat Yasin. Barangsiapa yang membacanya maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu seperti membaca al Qur’an sepuluh kali.” (Riwayat Tirmidzi, hadits palsu)
“Barangsiapa membaca surat Yasin di pagi hari, maka akan dimudahkan urusan hari itu sampai sore. Dan barangsiapa yang membacanya di awal malam (sore hari) maka akan diberi kemudahan malam itu samapi pagi.” (Riwayat Imam Darimi, hadits ini lemah)
“Barangsiapa membaca surat Yasin setiap malam, nisacaya diampuni dosanya. (Riwayat Baihaqi dalam Syuabul Iman, hadits ini lemah)
“Sesungguhnya Allah Ta’ala membaca surat Thaha dan Yasin 2000 (dua ribu) tahun sebelum diciptakannya Nabi Adam. Tatkala para malaikat mendengar al Qur’an (yakni kedua surat itu) seraya berkata: Berbahagialah bagi ummat yang turun al Qur’an atas mereka, alangkah baiknya lidah-lidah yang berkata dengan ini (membacanya) dan baiklah rongga-rongga yang membawanya (yakni menghafal kedua surat itu).(Riwayat Darimi, hadits ini hadits mungkar)
“Barangsiapa mendengar bacaaan surat Yasin, ia akan diberi ganjaran 20 dinar pada jalan Allah. Dan barangsiapa yang membacanya diberi ganjaran kepadanya laksana ganjaran 20 kali melakukan ibadah haji. Dan barangsiapa yang menuliskannya kemudian ia meminum airnya, maka akan dimasukkan ke dalam rongga dadanya 1000 keyakinan, 1000 cahaya, 1000 berkat, 1000 rahmatan, 1000 rezeki, dan dicabut (dihilangkan) segala macam kesulitan dan penyakit. (Riwayat al Khatib, kemudian ia berkata: Hadits ini palsu).
“Surah Yasin itu bisa memberi manfaat bagi sesuatu tujuan yang dibacakan untuknya.” (Imam as Sakhawi menjelaskan bahwa hadits ini tidak ada asalnya)
Surat Yasin untuk yang akan mati
Sering kita jumpai ketika ada orang yang sakartaul maut, dibacakan surat Yasin dengan alasan agar kematian orang tersebut dimudahkan. Memang ada hadits menegnai hal ini, namun sangat disayngkan bahwa hadits ini lemah, tidak dapat dipakai sebagai landasan beramal.
“Bacakanlah surah Yasin kepada orang yang akan mati dari antara kamu.” (Diriwayatkan Ahmad, hadits ini lemah)
“Tidak ada seorang pun yang akan mati, lalu dibacakan surahYasin di sisinya (yaitu ketika ia sedang Naza’), melainkan Allah akan mudahkan (kematian) atasnya.” (Diriwayatkan Abu Nu’aim, hadits ini palsu)
Membaca Surat Yasin ketika ziarah kubur
Tidak jarang kita temukan dari kalangan kaum muslimin yang membaca surah Yasin ketika berziarah kubur kedua orang tuanya. Mereka beranggapan bahwa hal ini disyariatkan. Memang ada hadits mengenai hal ini, namun sangat disayangkan bahwa hadits tersebut merupakan hadits palsu, sehingga tidak bisa diamalkan.
“Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap Jum’at dan mambacakan surat Yasin (di atasnya), maka ia akan diampuni dosanya sebanyak ayat atau huruf yang dibacanya.” (diriwayatkan Ibnu Ady, hadits ini palsu)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan bahwa membacakan surat yasin ketiak ada orang yang sedang naza’ dan membaca al Qur’an (membaca surat Yasin atau surat-surat lainnya) ketika berziarah ke kubur adalah bid’ah dan tidak ada asalnya sama sekali dari sunnah nabi Shallallahu 'Alahi wa Sallam yang shahih.
Membaca Qur’an secara bersama-sama
Membaca al Qur’an merupakan ibadah, yang kita dituntut untuk melaksanakan sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Menurut Syaikh Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, tidak ada satupun riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya bahwa mereka membaca Al Qur’an secara bersama-sama dengan satu suara dengan waqaf dan berhenti yang sama. Hal ini paling tidak hukumnya makruh. Akan tetapi para sahabat membacanya sendiri-sendiri, atau salah seorang membaca dan orang lain yang hadir mendengarnya.
Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alahi wa Sallam memerintahkan kepada Ibnu Mas’ud untuk membacakan Al Qur’an. Ibnu Mas’ud berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku akan membacakan Al Qur’an di hadapanmu, sedangkan Al Qur’an diturunkan kepadamu? Beliau shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Saya senang mendengarnya dari oarang lain.” (HR.Bukhari)
Jika membaca secara bersama-sama dengan satu suara dengan tujuan kegiatan belajar mengajar, Syaikh Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz berharap bahwa hal tersebut tidaklah mengapa, boleh hukumnya. Apabila beberapa orang berkumpul membaca al Qur’an dengan tujuan menghafal atau mempelajarinya, dan salah seorang membaca sedang yang lainnya mendengarkannya, atau masing-masing dari mereka membaca sendiri-sendiri, maka hal ini disyariatkan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda yang artnya, “Apabila suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) sambil membaca al Qur’an dan saling bertadarus bersama-sama, niscaya akan turun ketenangan atas mereka, rahmat Allah akan meliputi mereka, para malaikat akan melindungi mereka dan Allah menyebut mereka kepada makhluk-makhluk yang ada di sisi-Nya.” (HR.Muslim)
Ritual Yasinan
Ritual membaca surat Yasin secara bersama-sama, pada hari dan jam yang telah ditentukan, dikenal dengan nama Yasinan. Ritual ini banyak dilakukan pada malam Jum’at atau pada hari Jum’at nya. Biasanya, tiap-tiap RT memiliki halaqah (kelompok) yasinan tersendiri, apakah itu ibu-ibu, bapak-bapak, atau remaja.
Dalam ritual ini, surat Yasin dibaca dengan cara bersama-sama dalam satu suara. Tidak jarang pula bersahut-sahutan, yang satu sudah selesai, yang lainnya belum. Bahkan ada beberapa ayat yang sengaja ditinggalkan oleh seorang peserta hanya untuk mengejar ketertinggalannya dalam membaca. Bukan suatu yang sulit pula menemukan para aktivis yasinan ini yang tidak mampu membaca al Qur’an. Mereka membacanya dari buku Yasinan yang memuat transliterasi huruf arab ke huruf latin. Bisa di duga bahwa tajwid pun tidak diperhatikan dalam ritual yasinan ini.
Dalam pelaksanaan yasinan ini di sebagian tempat memerlukan biaya, karena yasinan bukan sekedar membaca surat Yasin kemudian pulang, namun dilanjutkan dengan makan ringan atau acara-acara lainnya seperti arisan atau ngobrol.
Ritual Yasinan, haruskah mengikutinya?
Dalam menjalankan suatu kegiatan, terlebih kegiatan yang berlabel keagamaan, kita harus memperhatikan tips dan triknya, agar ibadah yang kita laksanakan diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ust. Fariq Gasim Anus menasihati kita dengan menukil pernyataan Syaikh Husain Al-Awaisyah, “Sebelum engkau melangkah satu pun-wahai saudaraku muslim- maka engkau harus tahu jalan keselamatanmu, janganlah engkau memforsir dirimu dengan banyak amalan, karena boleh jadi orang yang banyak beramal tidak mendapatkan apa-apa, kecuali letih dan lelah.”
Pernyataan tersebut sangat tepat. Jangan sampai kita sudah berpayah-payah, capek, letih, dan lelah. Kita juga telah menghabiskan waktu, tanaga, dan biaya; ternyata kita tidak memperoleh apa-apa. Namun bagaimana mungkin, orang banyak beramal kok tidak mendapatkan apa-apa? Itu tidak masuk akal! Bukankah niat ibadah yang kita lakukan ikhlas karena Allah. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya”?
Wahai Saudaraku, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmatNya kepada kita, Bukankah Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman di kitabnya yang mulia, Al-Qur’anul Karim: (yang artinya): ”Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al_Kahfi: 103-104)
Para ulama kita telah menjelaskan, bahwa syarat agar amal ibadah diterima di sisi Allah adalah harus benar, yaitu Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar maupun kecil dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (mutaba’ah). Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat Laa ilaaha illallah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya. Adapaun syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya ta’at kepada Rasul, mengikuti syariatnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah yang diada-adakan.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Agar Dia menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (Surat Al-Mulk:2) Di dalam ayat ini, Allah Azza wa ‘Ala tidak berfirman (yang artinya): “…yang lebih banyak amalnya”, tetapi Allah berfirman (yang artinya): “…yang lebih baik amalnya.” Yang dimaksud dengan lebih baik amalnya adalah seikhlas-ikhlasnya, dan sebenar-benarnya.” Demikian yang dijelaskan Fudhail bin Iyadh. Beliau berkata,“Sesungguhnya suatu amalan jika dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidaklah diterima, dan apabila amalan tersebut benar tetapi tidak dilakukan dengan ikhlas maka tidak diterima pula, sampai amalan tersebut dilakukan dengan ikhlas dan benar. Ikhlas apabila dilakukan karena Allah Ta’ala dan benar apabila sesuai dengan sunnah (Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam).”
Syaikh Utsaimin –rahimahullah- menjelaskan bahwa sesuatu dikatakan mutaba’ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) jika amalan tersebut sesuai dengan syariat dalam enam perkara, yaitu:
1. Pertama: Sebab
Jika seseorang melakukan suatu ibadah karena Allah dengan sebab yang tidak disyariatkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak).
Contoh: Seseorang shalat tahajud pada malam 27 rajab dengan alasan bahwa malam itu adalah malam Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mi’raj (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud merupakan ibadah, namun jika dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syariat.
2. Kedua: Jenis
artinya: Ibadah harus sesuai dengan syariat dalam jenisnya. Contoh: Seseorang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syariat dalam jenis. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi, dan kambing.
3. Ketiga: Kadar (bilangan)
Kalau ada seseorang yang menambah bilangan rakaat suatu shalat, dan beranggapan bahwa hal tersebut diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima. Karena tidak sesuai dengan ketentuan syariat dalam jumlah bilangan rakaatnya. Seandainya ada orang shalat dzuhur lima rakaat, shalatnya tidak sah.
4. Keempat: Kaifiyah (Cara)
Seandainya ada orang yang sujud dulu baru ruku di dalam sholat,maka tidak sah, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syariat.
5. Kelima: Waktu
Apabila ada orang menyembelih binatang kurban pada hari pertama Dzul Hijjah, maka tidak sah; karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
6. Keenam: Tempat
Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah I’tikafnya. Sebab tempat I’tikaf hanyalah masjid.
Wahai Saudaraku, kesimpulan dari penjelasan di atas adalah, bahwa ibadah seseorang termasuk amal shaleh yang diterima di sisi Allah jika dilakukan dengan ikhlas dan mutaba’ah. Dan mutaba’ah hanya dapat terjapai jika sebab, jenis, kadar, cara, waktu, dan tempat dalam beribadah tersebut sesuai dengan ketentuan syariat.
Setelah mengetahui syarat diterimanya ibadah, maka kita bandingkan ritual yasinan dengan syarat-syarat di atas. Ada beberapa kesalahan dalam ritual yasinan: mengkhususkan dengan surat Yasin, padahal tidak ada dalil yang shahih yang mengkhususkan surat tersebut. Mengkhususkan pada hari tertentu dan berpendapat bahwa itu disyariatkan, padahal dalilnya adalah lemah. Dilakukan dengan cara bersama-sama satu suara, saling kejar-kejaran, tidak memperhatikan makhraj dan tajwidnya. Oleh karena itu, tidak selayaknya kita mengikuti ritual yasinan karena hal tersebut menyelisi sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alahi wa Sallam.
Akan lebih baik kalau lelah kita, capek kita, uang yang kita keluarkan, kita gunakan di jalan yang disyariatkan oleh Allah. Bukankah semuanya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala? “Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam hingga ia ditanya tentang empat perkara. Tentang umurnya bagaimana ia menghabiskannya, tentang ilmunya apa yang ia lakukan dengannya, tentang hartanya dari mana ia memperolehnya dan kemana ia menginfakkannya, tentang jasmaninya bagaimana ia menggunakannya.” (HR.Tirmidzi, sanadnya hasan shahih)
Semoga bermanfaat:
Sumber:
1. Kelemahan Hadits-Hadits Tentang Fadhilah Surat Yaasiin, Yazid Jawwas, Majalah Al Muslimun Bangil, No.254 th.XXII (38), Mei 1991; hal.34-41 (rubrik Mushthalah)
2. Bacaan Surat Yaasin Bukan Untuk Orang Mati, Yazid Jawwas, Majalah Al Muslimun Bangil, No.255 th.XXII (38), Juni 1991; hal.78-81 (rubrik Hadits)
3. Penyimpangan terhadap Al-Qur’an, Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Darul Haq
4. Fikih Nasehat, Fariq bin Gasim Anuz, Pustaka Azzam
5. Sesuaikah Ilmu dengan Amal Anda? Al Khatib al Baghdadi, Pustaka At-Tauhid
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kenduri kematian setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN TERLARANG, BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH.
BalasHapusBerikut apa yang tertulis pada keputusan itu :
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
SELESAI , KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
REFERENSI :
Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
Masalah Keagamaan Jilid 1 - Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d/ Ketigapuluh/2000, KH. A.Aziz Masyhuri, Penerbit PPRMI dan Qultum Media.
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bacaan atau amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim 1 : 90 dan Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19 Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll.
Artikel yang luar biasa. Sepakat 100%
BalasHapus