أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
I.PENDAHULUAN
Nabi Muhammad Saw, bersabda Ummat Islam akan terpecah menjadi 73 Golongan, semua dalam api kecuali satu golongan, yakni Al-Jama’ah, masing-masing golongan merasa puas dengan golongannya sendiri (QS 30:33), fanatic golongan ini telah meningkatkan suhu persaingan dari antar individu menjadi antar kelompok yang pada akhirnya memperparah kondisi ummat Islam. Yang sudah pecah belah menjadi kian berantakan.
Jumlah umat Islam dunia mencapai +1.2 M yang tersebar di berbagai benua, sekalipun jumlahnya nomor dua terbanyak setelah nashrani, namun kondisinya bagai buih di samudra nan luas, mudah terombang-ambing,tidak menentu arah yang dituju.
Para pakar Islam menyebutkan kondisi rapuh ummat Islam di atas karena Islam tidak punya pemimpin, tidak ada wadah islam internasional yang di bawah bendera itu semua golongan Islam bisa bernaung, para pakar sepakat untuk mengatasi kondisi ummat Islam seperti ini “khilafah” adalah solusinya. (sumber : Media Da’wah no.249, Maret 1995)
Berbagai seminar, musyawarah terbuka, atau rapat akbar tentang khilafah telah di gelar, pertemuan mereka mottonya sama “ dengan khilafat kita ciptakan kedamaian dan persatuan Umamat “ hal ini merupakan gambaran kerinduan berbagai kelompok terhadap khilafah yang kian tak terbendung, hanya masalahnya khilafah dan khalifah tak kunjung jua terbentuk, lalu apa dan bagaimana sebenarnya khilafah itu.
II.DEFINISI KHILAFAH
Secara Etimologi khilafah di serap dari bahasa Arab :
خلف – يخلف – خلافة = menggantikan
• Khilafah adalah Lembaganya (lembaga pengganti)
• Khalifah orang yang memimpin lembaga khilafah
• Dari definisi di atas, khalifah dapat di artikan Wakil atau pengganti, Gelar pemimpin agama yang memimpin lembaga khilafah, Penguasa atau pengelola.
Macam – Macam Khalifah :
1.Seluruh manusia adalah khalifah Allah dalam makna, makhluk berakal yang dapat mengolah alam ciptaan Tuhan.
35:39. Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.
2.Para nabi dan Rasul adalah Khalifatullah yang bertugas khusus membimbing manusia
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,(Al-Jumuah : 2)
Supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka jahannam. mereka Itulah orang-orang yang merugi. (Al-Anfal :37)
Dua ayat di atas mendefinisikan fungsi dan tugas seorang rasul, yakni menyampaikan ayat-ayat Tuhan, membawa umatnya kepada kehidupan bertuhan yang suci lagi manusiawi, dan mengajarkan berbagai hikmah pengetahuan agar terlepas dari kebodohan dan kesesatan,
النبوة شفارة بين الله وبين ذوى العقول من عباده لازحة علتهم في الامر معادهم ومعاشهم
“ kenabian itu adalah duta yang memperdamaikan antara Allah dengan orang-orang yang berakal, diantara hamba-hamba-Nya untuk memudahkan kesulitan mereka dalam urusan agama dan urusan kehidupan mereka” (kitab Mufrodat Roghib, di pinggir Ibnu Atsir, Jild 4, hal 143/499)
3.Khalifaturrasul
كانت بنو اسرائيل تسوسهم الانبياء كلما هلك نبي خلفه نبي لانبي بعد وسيكون خلفاء
Adalah kaum bani Israil di pimpin oleh para nabi, apabila wafat seorang nabi, maka digantikan oleh nabi yang lain tapi di belakang aku tidak ada nabi dan yang akan ada (dimasa yang dekat) adalah khalifah-khalifah. (HR. Bukhori – Misykat h.66).
Hadist ini mengisyaratkan kedatangan Khalifah sesudah Rasulullah saw wafat.
III. ESSENSI KHILAFAH DALAM ISLAM
ومن مات وليس ف عنوقه بيعة مات ميتة جاهلية
Seseorang yang meninggal sedang dilehernya tidak ada ikatan bai’at (kepada Imam/khalifah) maka meninggalnya dalam keadaan jahiliyah (Muslim dan Misykat h.320)
من لم يعرف امام زمانه فقد مات ميتة جاهلية
Barangsiapa yang tidak mengenal Imam zamannya, maka meninggalnya dalam keadaan Jahiliyah (Abu daud,biharul anwar, h. 45).
IV.KHILAFAH RANGKAIAN KEPEIMPINAN DALAM ISLAM
تكون النبوة فيكم ماشاء الله ان تكون..... ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ماشاء الله ان تكون.... ثم تكون ملكا عاضا فتكون ماشاء الله انتكون..... ..... ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ثم ثكت
Akan terjadi nubuwah sampai masa yang di sukai Allah...kemudian akan terjadi khilafat dalam nubuwat sampai masa yang di sukai Allah, kemudian akan terjadi kerajaan yang lalim sampai waktu yang di sukai Allah, kemudian akan terjadi khilafat seperti dalam nubuwat, kemudian beliau Saw berdiam diri (HR Abu daud, Ahmad dan Baihaqi-kanzul umal Jld IV p.121)
ان لله عز وجل يبعث لهده الامة على راس كل مائة سنة من يجدد لها دينها
Abu Hurairah ra. Meriwayatkan, Rasulullah Saw. Bersabda : Sesungguhnya Allah Swt, akan mengirimkan untuk ummat ini seorang Mujadid pada permulaan setiap seratus tahun, yang akan memperbaiki agamanya (abu Daud dan Misykat h. 36)
Abad 1 : Umar bin Abdul Aziz
Abad 2 : Imam Syafi’i
Abad 3 : Abdul Hasan Asyari
Abad 4 : Abu Ubaidillah Nisyapuri
Abad 5 : Imam Ghozali
Abad 6 : Syeh Abdul Qadir Jaelani
Abad 7 : Ibnu Taimiya
Abad 8 : Ibnu Hajar Asqolani
Abad 9 : Imam Suyyuti
Abad 10 : Muhmaad Tahir Gujrati
Abad 11 : Mujadid Alifsani
Abad 12 :Syah Waliyullah Muhadats Dhekwi
Abad 13 : Sayid Ahmad Brelwi
Abad 14 : Imam Mahdi dan Masih Mau’ud as
(hujazul Kiramah h.135-139)
V.KHALIFAH ADDIN DAN KHALIFAH ADDAULAH
Hadhrat amran bin Husain ra. Meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda “ abad terbaik adalah dalam abadku, kemudian orang-orang yang bertemu dengan mereka (abad ke II) kemudian orang-orang yang mengikutinya (ABAD KE III), sesudah mereka orang-orang akan berkhianat (Jamiushagir h. 150)
Inilah Jaminan kemurnian Islam yang di sampaikan Rasulullah Saw. Hanya tiga generasi saja yang bisa menjalankan Islam yang murni, dengan segala resikonya khulafaur-rasyidin dapat menegakan Islam sesuai sunnah Rasulullah Saw. Akan tetapi setelah mereka wafat terbunuh, nikmat khalifah ini di cabut dari kalangan ummat Islam, sekalipun setelah Hadhrat Ali bin Abi Thalib masih ada sebutan khalifah namun essensinya tidak bisa di katakan sebagai mewakili keseluruhan Ummat Islam..lagi pula pada era kerajaan-kerajaan Islam khilafah telah bergeser dari addin ke addaulah, dari agama / kerohanian kepada kekuasaan Dunia. Itulah sebabnya kepemimpinan Islam dilanjutkan hanya oleh para Mujadid.
VI.KHALIFAH BUATAN MANUSIA/ ANUGRAH TUHAN?
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari antara kamu dan berbuat amal shaleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka itu khalifah di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah orang-orang yang sebelum mereka ; dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah Dia ridhai bagi mereka ; dan niscaya Dia akan menggantikan mereka sesudah ketakutan mereka dengan keamanan. Mereka akan menyembah Aku, dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu dengan Aku. Dan barangsiapa ingkar sesudah itu, mereka itulah orang-orang yang durhaka.
Khalifah dan lembaga khilafat adalah sebuah janji Allah Swt. Yang akan di anugrahkan kepada ummat manusia dengan syarat mereka beriman kepada Allah dan beramal Shaleh, jadi ambisi manusia tidak akan bisa mendirikan khilafat dan sekelompok manusia tidak akan mungkin dapat mengangkat seorang khalifah, karena khalifah yang di maksud bukanlah khalifah Dunia, karena kekhalifahan yang di janjikan datang di akhir zaman adalah kekhalifahan samawi dengan tujuan mengembalikan Iman yang telah terbang ke bintang tsurayya, bukan mendirikan kerajaan yang berambisikan kekuasaan dunia :
لوكان الايمان عند الثريا لنا له رجال او رجل من هئولاء
Jika iman telah terbang ke bintang tsuraya, seorang laki-laki atau beberapa orang laki-lakidari antara orang-orang ini akan membawanya kembali (Bukhori dlm tafsir surah Al-Jumu’ah)
VII.PILAR ISLAM MENURUT HAZRAT UMAR
لا اسلام الا بالاجماعة ولا جماعة الابالامارة ولا امارة الا بالبيعة ولا بيعة الا بالطعة
Tidak ada Islam kecuali dengan Jama’ah, tidak ada jamaah kalau tidak ada imam, tidak ada imam kalau tidak ada janji setia (bai’at) dan tidak ada bai’at kecuali dengan ta’at.
Islam memandang penting berjamaahkarena di dalam jamaah terdapat keberkahan dan kekuatan, pengikat jamaah adalah adanya pemimpin yang di akui kesalehan dan kepemimpinannya, sehingga ada kewajiban berbai’at atau mengikat janji setia kepadanya. Janji setia teradap imam akan dirasakan nyata hasilnya manakala ada ketaatan terhadapnya.
Mata rantai kesinambungan khilafah Rasyidah telah terputus karena ummat Muslim telah keluar dari bingkai ketaatan, kaum muslimin menjadi mahrum dari khilafat hakiki apabila mereka meninggalkan ketaatan “
Bila unsur-unsur di atas dipenuhi ummat Islam, niscaya “ Islam “ akan menjadi kekuatan maha dahsyat.
VIII. AHMADIYAH DAN KHILAFAH ‘ALA MINHAJIN NUBUWWAH
Sesuai janji Rasulullah Saw, pada Abab ke empat belas lahirlah Mujadid A’dhzom yang bergelar Imam Mahdi al-Masih Al-Mau’ud, Beliau adalah Hz. Ahmad as. pendiri Jemaat Ahmadiyah, beliau adalah putra rohani sejati Rasulullah saw, kedatangannya merupakan kedatangan kedua kali Rasulullah Saw sendiri.
Keta’atan Hz. Ahmad as terhadap Rasulullah Saw demikian sempurna, dan mencapai taraf fanna fi Rasul, langkah apapun yang dilakukan Junjungan yang mulia Rasulullah Saw, beliau berusaha melakukannya juga dan karena ketaatan semacam ini telah menyebabkan beliau di anugrahi jubah kenabian Ummati Rasulullah Saw. Hz. Ahmad adalah khadim/pelayan Rasulullah Saw, beliau menyebut dirinya tidak lebih dari debu yang menempel pada terompah Rasulullah Saw. Sepanjang hidup Hz. Ahmad di dermabaktikan untuk kemajuan Islam, 86 buah buku karya tulis beliau semuanya berisi pejelasan dan pembelaan terhadap keagungan Islam.
Wujud Hz. Ahmad as. menjadi perantara berlangsungnya khilafat ‘ala minhajin nubuwwah yang kedua kali dalam Ummat Nabi Muhammad Saw, dan sesuai janji Nabi Muhammad Saw. Dalam Abu Daud, kekhalifahan beliau akan berlangsung hingga hari kiamat, maka atas hal itu Hz. Ahmad as. bersabda :
“ Jangan hendaknya hati jadi kusut, karena bagi kamu perlu sekali melihat Kudrat yang kedua. Kedatangannya akan membawa kebaikan kepadamu, sebab dia selamanya akan tinggal bersama kamu, dan sampai kiamat silsilahnya tidak akan putus. Kudrat yang kedua itu tidak dapat datang sebelum aku pergi. Akan tetapi bila aku pergi, maka Tuhan akan mengirimkan Kudrat kedua itu kepadamu, yang akan tinggal bersama kamu selama-lamanya,
”Jangan kamu menyangka bahwa Tuhan akan menyia-nyiakan kamu. Kamu adalah sebuah benih dari Tuhan yang sudah ditanamkan dalam bumi. Allah berfirman, ‘Benih ini akan tumbuh kian besar, dari tiap-tiap pihak akan keluar cabang-cabangnya dan akan menjadi sebatang pokok (pohon) besar. Berbahagialah orang yang percaya kepada firman Tuhan, dan dia tidak gentar menghadapi percobaan-percobaan yang akan datang di pertengahan masa itu. Sebab kedatangan percobaan-pecobaan-pun perlu sekali supaya Tuhan menguji kamu, siapkah yang benar dalam pengakuan baiatnya dan siapa pula yang bohong. Orang yang tergelincir karena sesuatu cobaan ia sedikitpun tidak merugikan Tuhan, bahkan kesialannya itu akan membawanya ke neraka. Jika ia tidak dilahirkan akan lebih baik bagi dia. Akan tetapi orang-orang yang sabar hingga akhir, mereka ditimpa gempa musibat, diserang angin ribut, bangsa-bangsa menertawakan dan memperolok-olokkan mereka, dan dunia memperlakukan mereka dengan cara yang amat jijik; merekalah yang akhirnya akan menang “
IX.BERKAT-BERKAT KHILAFAH
Ayat yang tertulis di bawah ini , menjelaskan secara umum, keberkatan-keberkatan Ummat Islam yang ditengah-tengah mereka berdiri lembaga kekhilafahan :
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari antara kamu dan berbuat amal shaleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka itu khalifah di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah orang-orang yang sebelum mereka ; dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah Dia ridhai bagi mereka ; dan niscaya Dia akan menggantikan mereka sesudah ketakutan mereka dengan keamanan. Mereka akan menyembah Aku, dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu dengan Aku. Dan barangsiapa ingkar sesudah itu, mereka itulah orang-orang yang durhaka. (QS An-Nur:56)
Berkat-berkat Utama dengan hadirnya khilafat, di jelaskan sendiri Oleh Al-Qur’an.
1.Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah Dia ridhai bagi mereka
Faktanya :
•Sejarah Nabi Muhammad Saw.
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul[234]. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (ali Imran :144.)
Ayat ini mengisyaratkan kepada peristiwa Perang Uhud nabi Muhammad Saw, di khabarkan Syahid dalam peperangan itu, skalipun hal itu tidak terbukti, namun Nampak adanya kecemasan yang luar biasa di kalangan Kaum Muslim dengan kewafatan Rasulullah Saw. Bahkan ketika Rasulullah benar-benar wafat Hz. Umar sempat menghunus pedang sambil mengancam akan menebas leher orang yang mengatakan Rasulullah Saw. Wafat kemudian beliau terduduk lemas setelah Hz. Abu Bakar membacakan ayat ini. Sepeninggal Rasululullah orang yang tipis keimanannya, mereka bahkan kembali murtad
•Begitu juga ketika Hazrat Ahmad as. wafat, orang-orang yang memusuhi jemaat tertawa gembira dan menganggap Hz. Ahmad as. akan gagal dalam menjalankan Misinya.
Ada kesamaan antara peristiwa kewafatan Rasulullah Saw dan anak Rohani beliau, Hz. Ahmad as. yakni Allah Ta’ala mewafatkan mereka pada waktu yang menurut [pandangan] lahiriyah mengandung kecemasan tentang gagalnya pekerjaan. Dan para penentang diberi kesempatan untuk tertawa dengan gembira, berolok-olok, mencela dan memaki. Dan apabila mereka sudah puas menertawakan dan mencemoohkan, barulah Allah Ta’ala memperlihatkan tangan kudrat-Nya yang kedua. Yaitu dengan berdirinya lembaga khilafat sepeninggal mereka. Inilah bentuk peneguhan Allah Ta’ala melalui lembaga khilafat
2.Dia akan menggantikan mereka sesudah ketakutan mereka dengan keamanan.
Faktanya :
Setelah Hz. Abu bakar terpilih sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah Saw, keadaan ummat Islam kembali memperoleh keamanan setelah rasa cemas menyelimuti mereka. Demikian selanjutnya.
Apa yang terjadi dalam Jemaat Ahmadiyah juga demikian, gangguan dan penentangan terus saja di lakukan, bahkan dengan menelisik rencana jahat mereka, sekali ayunan tangan saja secara lahiriyah jemaat Ahmadiyah akan hancur tanpa bisa mneghindar. Namun Ahmadiyah dan khilafatnya terus saja memperoleh kemajuan demi kemajuan, terbukti hingga saat ini, telah sampai kepada masa kekhalifahan yang ke lima. Kalau tidak ada tangan Allah Swt, mana mungkin memperoleh kamajuan seperti sekarang.
3.Tegaknya Tauhid Ilahi. Mereka akan menyembah Aku, dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu dengan Aku
Pada hakikatnya keberlangsungan estafet kepemimpinan dalam Islam-dari Nabi-kepada Khalifah dari khalifah kepada Mujadid- adalah untuk menjamin tegaknya tauhid ilahi
X.PENUTUP “KHILAFAT/KHALIFAH JANTUNGNYA ISLAM “
Rasulullahb Saw. Bersabda
ان لكل شيئ قلبا وقلب القر ان يس….
Sesungguhnya segala sesuatu memiliki jantung dan jantungnya Al-Qur’an adalah Yaa sin. (HR.Abu Dawud dan Nassay)
يس = menurut ibnu Abbas sin adalah alih alih dari kata insan, insan yang di maksud adalah insan kaamil (manusia sempurna, maka kata يس dapat di artikan “ hai manusia sempurna “ Dialah Nabi Muhammad Saw.” Oleh karena itu sesuai hadist di atas “ segala sesuatu memilki jantung ” dapatkah kita katakan bahwa Nabi Muhammad Saw. Adalah jantungnya Islam, BEGITU JUGA PARA KHALIFAH DAN ATAU PARA MUJADID.
Dalam sistem apapun jantung tidak boleh berhenti apalagi tidak ada. Oleh karena itu sebagai penutup, mengajak hadirin dan hadhirot untuk memilih Jama’ah Islam yang memiliki Jantung.
اخر الكلامي بالله توفق والهدية و اخر دعونا عن الحمد لله رب العالمين
----ooooOoooo----
Senin, 17 Desember 2012
Jumat, 27 Januari 2012
Syaiful Mujani: Takut Ahmadiyah, Takut Kepada Siapa?
JAKARTA - Anggota jemaah Ahmadiyah diburu, dikepung ruang geraknya, seperti binatang. Bukan hanya oleh orang-orang di lapisan bawah, tapi juga oleh elite negara dan ulama. Wujudnya adalah kebijakan jahat yang dibuat elite tersebut dalam bentuk surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, dan dikaitkan dengan undang-undang penistaan agama. Dalam SKB itu, Ahmadiyah jelas kehilangan hak-hak asasinya yang paling fundamental sebagai warga negara, yakni kebebasan berkeyakinan dan menjalankannya.
Sejumlah aktivis mengajukan review kebijakan dan undang-undang yang digunakan untuk mendiskriminasi dan membantai warga Ahmadiyah itu. Dasar pengajuan review tersebut adalah kebijakan yang diskriminatif itu dinilai bertentangan dengan konstitusi, yang menjamin kebebasan berkeyakinan serta beragama dan, karena itu, wajib hukumnya dibatalkan. Kita tahu semua, Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan tersebut.
Kalau bicara secara pribadi dengan para pejabat negara tersebut, mereka mengakui bahwa kebijakan negara itu diskriminatif dan melanggar konstitusi. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan bicara secara jernih pun bahwa setiap warga, apa pun keyakinannya, dijamin di negeri hukum ini mereka tidak berani. Saya melihat mereka takut. Takut terhadap siapa? Saya tidak tahu, tapi kesan saya, mereka takut terhadap "umat Islam".
Umat Islam adalah kolektivitas yang dibayangkan hidup, punya logika, dan punya jalan pikiran sendiri. Ia punya sikap tentang apa itu Islam dan apa itu bukan Islam. Barang siapa yang memahami Islam di luar pemahamannya dianggap mengancam Islam dan umat Islam dan, karena itu, harus dikeluarkan. Bila tidak mau keluar, tetap bernaung dalam nama Islam, ia dinilai pantas dimusnahkan.
Sikap umat seperti ini sebenarnya diciptakan dalam sejarah oleh sebuah otoritas agama atau ulama dan negara atas dasar penafsiran yang dinilai berlaku umum dalam tradisi otoritas tersebut. Peran ulama adalah membentuk paham-paham Islam mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Sampai di situ tidak apa-apa. Tapi, ketika otoritas agama ini punya kekuasaan atau bisa menggunakan kekuasaan negara, paham tersebut bisa punya daya paksa dan bahkan daya musnah seperti yang kita saksikan di Pandeglang itu.
Negara bisa dipaksa atau mungkin dipersuasi oleh ulama, terutama Majelis Ulama dan para ulama di Kementerian Agama karena petinggi negara terkait takut dinilai membela hak-hak beragama jemaah Ahmadiyah. Mereka takut dinilai memusuhi umat Islam kalau menolak permintaan para ulama untuk mengkerangkeng jemaah Ahmadiyah.
Saya tahu para ulama itu sungguh-sungguh melihat Ahmadiyah sebagai ancaman terhadap umat Islam. Tapi para pejabat negara terkait sebenarnya tidak merasa seperti itu. Sebenarnya banyak di antara mereka yang memandang bahwa paham seperti yang dipegang oleh Ahmadiyah merupakan hak jemaah Ahmadiyah sendiri dan negara tidak boleh memaksa mereka berislam selain cara mereka sendiri. Mereka juga percaya bahwa negara wajib melindungi setiap keyakinan apa pun, termasuk keyakinan yang dikaitkan dengan Islam, seperti Ahmadiyah. Tapi elite negara itu takut terhadap umat kalau harus mengatakan demikian secara terbuka kepada publik. Mereka takut dinilai merusak Islam, dan takut dimusuhi umat Islam.
Ketakutan elite negara, yang umumnya awam dengan tafsir Islam, itu semakin menjadi-jadi karena hampir tidak ada ulama tandingan dari umat Islam yang berpengaruh untuk menyampaikan paham alternatif terhadap pandangan tentang Islam yang dinilai umum tersebut. Kita tahu ada sejumlah ulama atau intelektual yang menoleransi adanya perbedaan paham dalam Islam, termasuk yang berkaitan dengan akidah, karena mereka tahu bahwa perbedaan semacam itu punya sejarah yang panjang dalam tradisi Islam. Dan sah adanya.
Kita ingat bagaimana para pendukung Sayidina Ali dan para pendukung Sayidina Usman saling mengkafirkan, saling mengeluarkan mereka dari Islam. Padahal mereka semua para pengikut setia Nabi. Mereka berebut pengaruh. Bukan soal paham agama betul.
Kita tahu banyak ulama besar pada masa keemasan Islam yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu, yang menganggap akal lebih penting daripada wahyu. Juga kita ingat perdebatan besar para ulama Asyariah dan Mu'tazilah tentang hakikat wahyu atau Al-Quran, apakah ia kekal (qadim) atau baru (hadis). Kita juga tahu ada ulama besar tasawuf, seperti Yazid Albustami atau Al-Hallaj, yang punya ungkapan ganjil bagi awam umat Islam ketika mengatakan, misalnya, "tidak ada Tuhan selain Aku"; "Aku adalah Tuhan", dan seterusnya.
Itu semua wilayah akidah dan, karena itu, beda paham dalam soal akidah juga biasa saja. Kalau Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya seorang nabi, ya, tidak ada apa-apanya kalau kita melihat perbedaan paham para ulama pada zaman keemasan Islam tersebut. Jangankan yang mengaku sebagai nabi, yang mengaku dirinya sebagai Allah saja ada. Jangankan perbedaan paham dalam menafsirkan sumber doktrin Islam, yakni Al-Quran, yang menganggap Al-Quran kurang penting pun ada. Dan semuanya berdasarkan atas otoritas keulaman mereka.
Celakanya, para ulama yang berdiri di belakang SKB itu cukup tahu sejarah Islam, tapi mereka memilih secara selektif. Seleksi itu bukan karena mereka sudah bertemu dengan Allah dan mengatakan bahwa Allah membenarkan substansi SKB itu, tapi lebih karena perasaan dan sejarah sosial mereka sendiri dalam lingkungan ulama Indonesia yang jumud, yang mata hatinya tertutup terhadap kenyataan bahwa ini adalah Indonesia, negara Pancasila, bukan negara Islam.
Sejauh ini para ulama yang bernafsu mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam cukup berhasil memonopoli arti dan makna Islam itu, sehingga paham yang lain harus dimusnahkan. Lebih dari itu, mereka kemudian berhasil juga menciptakan ketakutan di seantero negeri, termasuk kepada para jenderal yang paham keislamannya dari tradisi abangan itu.
Para elite negara begitu takut kepada umat Islam yang maknanya ciptaan para ulama itu. Mereka begitu percaya, kalau melawan paham ulama itu, mereka akan ditinggalkan umat Islam, yang membentuk hampir seluruh penduduk negeri ini. Kalau ditinggalkan, apalagi dimusuhi umat yang buatan ulama itu, habislah riwayat petinggi negara yang nasibnya bergantung pada pilihan umat itu, apakah itu presiden, anggota DPR, gubernur, maupun bupati. Pejabat-pejabat negara lainnya yang tak dipilih umat, seperti yang duduk di Mahkamah Konstitusi, kejaksaan, kepolisian, dan kementerian, juga takut karena bergantung pada para pejabat yang dipilih umat tersebut. Umat berkuasa, dan membuat takut seantero negeri.
Sumber: Koran Tempo l Penulis: Syaiful Mujani.DOSEN FISIP UIN JAKARTA
Sejumlah aktivis mengajukan review kebijakan dan undang-undang yang digunakan untuk mendiskriminasi dan membantai warga Ahmadiyah itu. Dasar pengajuan review tersebut adalah kebijakan yang diskriminatif itu dinilai bertentangan dengan konstitusi, yang menjamin kebebasan berkeyakinan serta beragama dan, karena itu, wajib hukumnya dibatalkan. Kita tahu semua, Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan tersebut.
Kalau bicara secara pribadi dengan para pejabat negara tersebut, mereka mengakui bahwa kebijakan negara itu diskriminatif dan melanggar konstitusi. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan bicara secara jernih pun bahwa setiap warga, apa pun keyakinannya, dijamin di negeri hukum ini mereka tidak berani. Saya melihat mereka takut. Takut terhadap siapa? Saya tidak tahu, tapi kesan saya, mereka takut terhadap "umat Islam".
Umat Islam adalah kolektivitas yang dibayangkan hidup, punya logika, dan punya jalan pikiran sendiri. Ia punya sikap tentang apa itu Islam dan apa itu bukan Islam. Barang siapa yang memahami Islam di luar pemahamannya dianggap mengancam Islam dan umat Islam dan, karena itu, harus dikeluarkan. Bila tidak mau keluar, tetap bernaung dalam nama Islam, ia dinilai pantas dimusnahkan.
Sikap umat seperti ini sebenarnya diciptakan dalam sejarah oleh sebuah otoritas agama atau ulama dan negara atas dasar penafsiran yang dinilai berlaku umum dalam tradisi otoritas tersebut. Peran ulama adalah membentuk paham-paham Islam mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Sampai di situ tidak apa-apa. Tapi, ketika otoritas agama ini punya kekuasaan atau bisa menggunakan kekuasaan negara, paham tersebut bisa punya daya paksa dan bahkan daya musnah seperti yang kita saksikan di Pandeglang itu.
Negara bisa dipaksa atau mungkin dipersuasi oleh ulama, terutama Majelis Ulama dan para ulama di Kementerian Agama karena petinggi negara terkait takut dinilai membela hak-hak beragama jemaah Ahmadiyah. Mereka takut dinilai memusuhi umat Islam kalau menolak permintaan para ulama untuk mengkerangkeng jemaah Ahmadiyah.
Saya tahu para ulama itu sungguh-sungguh melihat Ahmadiyah sebagai ancaman terhadap umat Islam. Tapi para pejabat negara terkait sebenarnya tidak merasa seperti itu. Sebenarnya banyak di antara mereka yang memandang bahwa paham seperti yang dipegang oleh Ahmadiyah merupakan hak jemaah Ahmadiyah sendiri dan negara tidak boleh memaksa mereka berislam selain cara mereka sendiri. Mereka juga percaya bahwa negara wajib melindungi setiap keyakinan apa pun, termasuk keyakinan yang dikaitkan dengan Islam, seperti Ahmadiyah. Tapi elite negara itu takut terhadap umat kalau harus mengatakan demikian secara terbuka kepada publik. Mereka takut dinilai merusak Islam, dan takut dimusuhi umat Islam.
Ketakutan elite negara, yang umumnya awam dengan tafsir Islam, itu semakin menjadi-jadi karena hampir tidak ada ulama tandingan dari umat Islam yang berpengaruh untuk menyampaikan paham alternatif terhadap pandangan tentang Islam yang dinilai umum tersebut. Kita tahu ada sejumlah ulama atau intelektual yang menoleransi adanya perbedaan paham dalam Islam, termasuk yang berkaitan dengan akidah, karena mereka tahu bahwa perbedaan semacam itu punya sejarah yang panjang dalam tradisi Islam. Dan sah adanya.
Kita ingat bagaimana para pendukung Sayidina Ali dan para pendukung Sayidina Usman saling mengkafirkan, saling mengeluarkan mereka dari Islam. Padahal mereka semua para pengikut setia Nabi. Mereka berebut pengaruh. Bukan soal paham agama betul.
Kita tahu banyak ulama besar pada masa keemasan Islam yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu, yang menganggap akal lebih penting daripada wahyu. Juga kita ingat perdebatan besar para ulama Asyariah dan Mu'tazilah tentang hakikat wahyu atau Al-Quran, apakah ia kekal (qadim) atau baru (hadis). Kita juga tahu ada ulama besar tasawuf, seperti Yazid Albustami atau Al-Hallaj, yang punya ungkapan ganjil bagi awam umat Islam ketika mengatakan, misalnya, "tidak ada Tuhan selain Aku"; "Aku adalah Tuhan", dan seterusnya.
Itu semua wilayah akidah dan, karena itu, beda paham dalam soal akidah juga biasa saja. Kalau Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya seorang nabi, ya, tidak ada apa-apanya kalau kita melihat perbedaan paham para ulama pada zaman keemasan Islam tersebut. Jangankan yang mengaku sebagai nabi, yang mengaku dirinya sebagai Allah saja ada. Jangankan perbedaan paham dalam menafsirkan sumber doktrin Islam, yakni Al-Quran, yang menganggap Al-Quran kurang penting pun ada. Dan semuanya berdasarkan atas otoritas keulaman mereka.
Celakanya, para ulama yang berdiri di belakang SKB itu cukup tahu sejarah Islam, tapi mereka memilih secara selektif. Seleksi itu bukan karena mereka sudah bertemu dengan Allah dan mengatakan bahwa Allah membenarkan substansi SKB itu, tapi lebih karena perasaan dan sejarah sosial mereka sendiri dalam lingkungan ulama Indonesia yang jumud, yang mata hatinya tertutup terhadap kenyataan bahwa ini adalah Indonesia, negara Pancasila, bukan negara Islam.
Sejauh ini para ulama yang bernafsu mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam cukup berhasil memonopoli arti dan makna Islam itu, sehingga paham yang lain harus dimusnahkan. Lebih dari itu, mereka kemudian berhasil juga menciptakan ketakutan di seantero negeri, termasuk kepada para jenderal yang paham keislamannya dari tradisi abangan itu.
Para elite negara begitu takut kepada umat Islam yang maknanya ciptaan para ulama itu. Mereka begitu percaya, kalau melawan paham ulama itu, mereka akan ditinggalkan umat Islam, yang membentuk hampir seluruh penduduk negeri ini. Kalau ditinggalkan, apalagi dimusuhi umat yang buatan ulama itu, habislah riwayat petinggi negara yang nasibnya bergantung pada pilihan umat itu, apakah itu presiden, anggota DPR, gubernur, maupun bupati. Pejabat-pejabat negara lainnya yang tak dipilih umat, seperti yang duduk di Mahkamah Konstitusi, kejaksaan, kepolisian, dan kementerian, juga takut karena bergantung pada para pejabat yang dipilih umat tersebut. Umat berkuasa, dan membuat takut seantero negeri.
Sumber: Koran Tempo l Penulis: Syaiful Mujani.DOSEN FISIP UIN JAKARTA
Nur Hidayah Nasehat Mulia Menuju Jalan Taqwa
Ikhtisar Khutbah Jumah Hadhrat Khalifatul Masih V Atba
20 January 2012 di Masjid Agung Baitul.Futuh, London UK
[Setelah mengucapkan tasyahud, taawudz, bismillah dan tilawat Surah Al Fatihah], Hudhur (Atba) menilawatkan ayat-ayat Al Quran ini:
‘Mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan mereka menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan, dan mereka berlomba-lomba dalam pelbagai kebaikan. Dan mereka termasuk orang-orang yang saleh. Dan kebaikan apapun yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi untuk menerima ganjarannya. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertaqwa.’ (Q.S. Surah Ali Imran : 115 & 116).
Beberapa hikmah perintah menyuruh orang agar berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan yang sama ini diulangi lagi pada beberapa ayat lainnya di dalam Surah Al Imran yang sama, dengan penegasan ‘wallaahu alimul ghaib wa syahadah_
Adalah atas ridha Allah Swt semata yang telah mengutus Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) - di saat yang penuh kesulitan - sebagai Imamuz Zaman, dan betapa beruntungnya kita yang telah mendapat taufiq untuk menerima kebenaran pendakwaan beliau, dengan cara ber-Baiat; lalu berusaha memperbaiki keimanan kita agar sesuai dengan kiat [tarbiyat] yang telah diberikan oleh Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau), berdasarkan Al Quran Karim dan Sunnah Rasulullah Saw.
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) bersabda: ‘Sebagaimana pentingnya untuk mengontrol lidah agar jangan sampai berucap hal-hal yang bertentangan dengan keridhaan Ilahi, maka penting pula memfaedahkannya untuk menyampaikan kebenaran, yakni, ‘..ya’muruuna bil ma’ruufi, wa yanha’una anil munkar…, atau ‘….menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan..…’, yang merupakan suatu kemuliaan bagi kaum Mukminin. Namun, sebelum menyuruh orang agar berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan tersebut, patutlah bagi insan tersebut untuk menunjukkan terlebih dahulu praktek kehidupannya sehari-hari, bahwa dirinya pun sungguh-sungguh telah memiliki daya kekuatan tersebut. Ringkasnya, adalah sangat penting, sebelum mempengaruhi orang, kondisi dirinya sendiri telah mampu untuk memikat orang lain [ke ‘arah yang ma’ruf itu].
Tetapi, janganlah pernah berhenti untuk ber-ya’muruuna bil ma’ruufi, wa yanha’una anil munkar. Penting pula untuk mengenali saat dan tempat yang tepat untuk melakukannya, serta cara menyampaikannya dengan lemah lembut tetapi jelas..Di lain pihak, adalah dosa besar mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Taqwaan.’ (Malfuzat, Vol. I, hlm 424).
Hudhur menjelaskan, ‘Jadi, sekali kita menerima kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau), maka meningkat pula tanggung jawab kita untuk meningkatkan standar setiap ucapan dan perbuatan kita dalam rangka ber-ya’muruuna bil ma’ruufi, wa yanha’una anil munkar itu. Jika tidak, apa pula nilai Bai’at kita ? Faktanya, justru akan mengundang murka Ilahi.
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) bersabda: ‘Aku telah berulangkali mengingatkan, bahwa semakin besar seseorang memperoleh qurb Ilahi, maka semakin besar pula hisabnya.’ (Malfuzat, Vol.I, hlm.44). Hudhur atba menjelaskan, ‘Jadi, jangan senang dulu bahwa kita telah menerima kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau). Melainkan, amatilah dengan seksama sejauh mana inqillabi haqiqi yang terjadi pada diri sendiri. Memperoleh ilmu agama tidak berarti membebaskan seseorang dari hisabnya. Mendapat amanat kepengurusan [di dalam Jama’at] tidak berarti membebaskan insan tersebut dari hisabnya bila ia tidak memenuhi pelaksanaan yang dipersyaratkan. Berasal dari keturunan yang dulunya banyak melakukan pengorbanan [kepada Jamaat] tidak membebaskan insan tersebut dari hisabnya apabila perbuatannya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang haqiqi.’
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) bersabda: ‘Juga, belum tentu dekat dalam pandangan Ilahi, mereka yang berbusana terbaik dan berharta. Sebaliknya, mereka yang dekat dalam pandangan ilahi adalah mereka yang mendahulukan kepentingan agama di atas segala kenetingan lainnya, dan ikhlas di dalamnya. Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) pun bersabda: Di antara berbagai janji Ilahi, salah satunya adalah: fauqalladziina kafaruu ilaa yaumil qiyaamah, yakni, Dia akan mengunggulkan kaum pengikut kebenaran di atas mereka yang meng-ingkarinya.Namun, sangat perlu direnungkan, bahwa orang yang sudah Bai’at kepadaku tidak otomatis menjadi pengikut yang sejati. Yakni, sebelum orang itu menjalankan sepenuhnya syarat baiat kepadaku tersebut, ia tidak dapat digolongkan kepada pengikut yang mukhlisin.’ Maka kita perlu merenungkan hal ini dengan serius.
Hudhur atba menekankan, ‘Kita baru dapat melaksanakan perintah untuk ber-ya’muruuna bil ma’ruufi, wa yanha’una anil munkar, hanya apabila kita’ telah lekat dengan berbagai perintah Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) yang adalah pecinta dan hamba sejati Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw. Berbagai perintah beliau ‘alaihissalam (salam untuk beliau) tersebut adalah sangat penting untuk menjaga keimanan dan kesejahteraan rohani, sekaligus juga untuk kemajuan duniawi kita. Maka apabila kita tidak berusaha untuk sungguh-sungguh mentaati berbagai sabda beliau ‘alaihissalam (salam untuk beliau) tentulah kita pun tidak dapat disebut sebagai pengikut yang sejati. Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) telah diamanatkan suatu tugas besar untuk menyampaikan syiar Islam ke seluruh dunia di akhir zaman ini, yang adalah juga merupakan tugas mereka yang beriman kepada beliau. Maka untuk itulah kita pun perlu menjadi contoh teladan, dan adanya persesuaian antara ucapan dengan perbuatan. Ada yang bertanya: ‘Jika dilarang untuk berbual-bual dan berpura-pura, maka apa perbedaan yang menonjol antara kita dengan yang lain ? Beliau menjawab: Berfokuslah untuk mampu menjadi contoh teladan yang cemerlang, sehingga membuat orang lain terpikat untuk menerimanya. Yakni, jika tidak ber-nur cahaya, tentulah tak’ ada orang yang mau percaya.’ Maksudnya, [nur cahaya] kecemerlangan yang dirujuk di sini adalah kesucian yang perlu kita tanamkan berkat melaksanakan maksud hakiki Bai’at kita.
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) bersabda: ‘Allah Ta’ala sangat mengasihi orang yang muttaqi. Ingatlah senantiasa akan keagungan Allah. Bertawadu-lah, dan ingatlah selalu, bahwa tiap diri manusia adalah sesama’ makhluk ciptaan Allah juga. Maka janganlah bersikap kasar maupun aniaya terhadap mereka. Jangan memandang hina orang lain. Jika ada seorang anggota Jamaat yang melakukan perbuatan cemar, berarti ia pun mencemari saudaranya yang lain. Jika engkau cenderung menjadi pemarah, telitilah qalbu, dari manakah asal muasalnya. Karena tahapan tersebut sangat membahayakan keadaan dirimu.’ (Malfuzat, Vol.I, hlm.9).
20 January 2012 di Masjid Agung Baitul.Futuh, London UK
[Setelah mengucapkan tasyahud, taawudz, bismillah dan tilawat Surah Al Fatihah], Hudhur (Atba) menilawatkan ayat-ayat Al Quran ini:
‘Mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan mereka menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan, dan mereka berlomba-lomba dalam pelbagai kebaikan. Dan mereka termasuk orang-orang yang saleh. Dan kebaikan apapun yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi untuk menerima ganjarannya. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertaqwa.’ (Q.S. Surah Ali Imran : 115 & 116).
Beberapa hikmah perintah menyuruh orang agar berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan yang sama ini diulangi lagi pada beberapa ayat lainnya di dalam Surah Al Imran yang sama, dengan penegasan ‘wallaahu alimul ghaib wa syahadah_
Adalah atas ridha Allah Swt semata yang telah mengutus Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) - di saat yang penuh kesulitan - sebagai Imamuz Zaman, dan betapa beruntungnya kita yang telah mendapat taufiq untuk menerima kebenaran pendakwaan beliau, dengan cara ber-Baiat; lalu berusaha memperbaiki keimanan kita agar sesuai dengan kiat [tarbiyat] yang telah diberikan oleh Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau), berdasarkan Al Quran Karim dan Sunnah Rasulullah Saw.
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) bersabda: ‘Sebagaimana pentingnya untuk mengontrol lidah agar jangan sampai berucap hal-hal yang bertentangan dengan keridhaan Ilahi, maka penting pula memfaedahkannya untuk menyampaikan kebenaran, yakni, ‘..ya’muruuna bil ma’ruufi, wa yanha’una anil munkar…, atau ‘….menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan..…’, yang merupakan suatu kemuliaan bagi kaum Mukminin. Namun, sebelum menyuruh orang agar berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan tersebut, patutlah bagi insan tersebut untuk menunjukkan terlebih dahulu praktek kehidupannya sehari-hari, bahwa dirinya pun sungguh-sungguh telah memiliki daya kekuatan tersebut. Ringkasnya, adalah sangat penting, sebelum mempengaruhi orang, kondisi dirinya sendiri telah mampu untuk memikat orang lain [ke ‘arah yang ma’ruf itu].
Tetapi, janganlah pernah berhenti untuk ber-ya’muruuna bil ma’ruufi, wa yanha’una anil munkar. Penting pula untuk mengenali saat dan tempat yang tepat untuk melakukannya, serta cara menyampaikannya dengan lemah lembut tetapi jelas..Di lain pihak, adalah dosa besar mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Taqwaan.’ (Malfuzat, Vol. I, hlm 424).
Hudhur menjelaskan, ‘Jadi, sekali kita menerima kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau), maka meningkat pula tanggung jawab kita untuk meningkatkan standar setiap ucapan dan perbuatan kita dalam rangka ber-ya’muruuna bil ma’ruufi, wa yanha’una anil munkar itu. Jika tidak, apa pula nilai Bai’at kita ? Faktanya, justru akan mengundang murka Ilahi.
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) bersabda: ‘Aku telah berulangkali mengingatkan, bahwa semakin besar seseorang memperoleh qurb Ilahi, maka semakin besar pula hisabnya.’ (Malfuzat, Vol.I, hlm.44). Hudhur atba menjelaskan, ‘Jadi, jangan senang dulu bahwa kita telah menerima kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau). Melainkan, amatilah dengan seksama sejauh mana inqillabi haqiqi yang terjadi pada diri sendiri. Memperoleh ilmu agama tidak berarti membebaskan seseorang dari hisabnya. Mendapat amanat kepengurusan [di dalam Jama’at] tidak berarti membebaskan insan tersebut dari hisabnya bila ia tidak memenuhi pelaksanaan yang dipersyaratkan. Berasal dari keturunan yang dulunya banyak melakukan pengorbanan [kepada Jamaat] tidak membebaskan insan tersebut dari hisabnya apabila perbuatannya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang haqiqi.’
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) bersabda: ‘Juga, belum tentu dekat dalam pandangan Ilahi, mereka yang berbusana terbaik dan berharta. Sebaliknya, mereka yang dekat dalam pandangan ilahi adalah mereka yang mendahulukan kepentingan agama di atas segala kenetingan lainnya, dan ikhlas di dalamnya. Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) pun bersabda: Di antara berbagai janji Ilahi, salah satunya adalah: fauqalladziina kafaruu ilaa yaumil qiyaamah, yakni, Dia akan mengunggulkan kaum pengikut kebenaran di atas mereka yang meng-ingkarinya.Namun, sangat perlu direnungkan, bahwa orang yang sudah Bai’at kepadaku tidak otomatis menjadi pengikut yang sejati. Yakni, sebelum orang itu menjalankan sepenuhnya syarat baiat kepadaku tersebut, ia tidak dapat digolongkan kepada pengikut yang mukhlisin.’ Maka kita perlu merenungkan hal ini dengan serius.
Hudhur atba menekankan, ‘Kita baru dapat melaksanakan perintah untuk ber-ya’muruuna bil ma’ruufi, wa yanha’una anil munkar, hanya apabila kita’ telah lekat dengan berbagai perintah Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) yang adalah pecinta dan hamba sejati Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw. Berbagai perintah beliau ‘alaihissalam (salam untuk beliau) tersebut adalah sangat penting untuk menjaga keimanan dan kesejahteraan rohani, sekaligus juga untuk kemajuan duniawi kita. Maka apabila kita tidak berusaha untuk sungguh-sungguh mentaati berbagai sabda beliau ‘alaihissalam (salam untuk beliau) tentulah kita pun tidak dapat disebut sebagai pengikut yang sejati. Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) telah diamanatkan suatu tugas besar untuk menyampaikan syiar Islam ke seluruh dunia di akhir zaman ini, yang adalah juga merupakan tugas mereka yang beriman kepada beliau. Maka untuk itulah kita pun perlu menjadi contoh teladan, dan adanya persesuaian antara ucapan dengan perbuatan. Ada yang bertanya: ‘Jika dilarang untuk berbual-bual dan berpura-pura, maka apa perbedaan yang menonjol antara kita dengan yang lain ? Beliau menjawab: Berfokuslah untuk mampu menjadi contoh teladan yang cemerlang, sehingga membuat orang lain terpikat untuk menerimanya. Yakni, jika tidak ber-nur cahaya, tentulah tak’ ada orang yang mau percaya.’ Maksudnya, [nur cahaya] kecemerlangan yang dirujuk di sini adalah kesucian yang perlu kita tanamkan berkat melaksanakan maksud hakiki Bai’at kita.
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam (salam untuk beliau) bersabda: ‘Allah Ta’ala sangat mengasihi orang yang muttaqi. Ingatlah senantiasa akan keagungan Allah. Bertawadu-lah, dan ingatlah selalu, bahwa tiap diri manusia adalah sesama’ makhluk ciptaan Allah juga. Maka janganlah bersikap kasar maupun aniaya terhadap mereka. Jangan memandang hina orang lain. Jika ada seorang anggota Jamaat yang melakukan perbuatan cemar, berarti ia pun mencemari saudaranya yang lain. Jika engkau cenderung menjadi pemarah, telitilah qalbu, dari manakah asal muasalnya. Karena tahapan tersebut sangat membahayakan keadaan dirimu.’ (Malfuzat, Vol.I, hlm.9).
Langganan:
Postingan (Atom)